IndonesiaDiscover –
KEPALA Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar mengungkap bahwa mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) sudah diperiksa sebagai saksi sebanyak tiga kali. Pemanggilan itu dilakukan sejak penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) melakukan penyidikan pada Oktober 2023 lalu sampai kemarin, Selasa (29/10).
“Sejak kurun waktu 2023 sudah tiga kali diperiksa sebagai saksi. Dan kemarin tentu beliau dipanggil, yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi,” ujar Harli di Kompleks Kejagung, Jakarta, Rabu (30/10).
Setelah diperiksa sebagai saksi untuk ketiga kalinya, kemarin, Tom langsung ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Gedung Bundar. Menurut Harli, penyidik juga melakukan ekspose perkara saat itu. Selain Tom, satu tersangka lainnya adalah Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia.
“Penyidik menggunakan kewenangannya dalam rangka melakukan penahanan terhadap kedua tersangka,” sambung Harli.
Saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan, Tom memberikan izin impor gula kristal sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP. Padahal ketika itu Indonesia mengalami surplus gula, sehingga tidak membutuhkan impor gula.
Di samping itu, berdasarkan Keputusan Menteri Perdanganan maupun Perindustrian Nomor 527/2004, izin impor seharusnya hanya diberikan kepada perusahaan pelat merah alias badan usaha milik negara (BUMN). Adapun yang seharusnya diimpor adalah gula kristal putih, bukan krstal mentah.
Sementara itu, peran Charles dalam perkara itu adalah mengondisikan delapan perusahaan pengolah gula kristal mentah hasil impor menjadi gula kristal putih. Menurut Direktur Penyidikan JAM-Pidsus Abdul Qohar, delapan perusahaan itu hanya memiliki izin pengolahan gula kristal rafinasi, bukan kristal putih.
Charles mendapat keuntungan lewat fee yang diberikan oleh delapan perusahaan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia. Selain itu, keuntungan juga diperoleh dari hasil penjualan gula kristal putih hasil pengolahan delapan perusahaan sebesar Rp16 ribu ke masyarakat, lebih tinggi dari harga eceran yang ditetapkan, yakni Rp13 ribu. Kejagung menaksir kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut mencapai Rp400 miliar. (J-2)