
Penyebab Tingginya Angka Pengangguran Sarjana di Indonesia
Pengangguran di Indonesia terus meningkat, khususnya dari kalangan lulusan perguruan tinggi. Data Kementerian Tenaga Kerja pada Februari 2025 menunjukkan bahwa sebanyak 1,01 juta sarjana menganggur. Jumlah ini menjadi bagian dari total pengangguran yang mencapai 7,28 juta orang dari berbagai tingkatan pendidikan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa angka pengangguran semakin tinggi?
Berdasarkan analisis beberapa ahli, ada lima penyebab utama yang mendasari fenomena ini. Pertama, lapangan kerja yang terbatas. Kedua, kurangnya keterampilan yang memadai. Ketiga, lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Keempat, perkembangan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI). Kelima, karakter yang cenderung manja dan tidak mampu bersaing.
Lapangan kerja yang terbatas menjadi salah satu faktor utama. Setiap tahun, jumlah lulusan perguruan tinggi terus bertambah, sementara penambahan lapangan kerja tidak sebanding. Hal ini menyebabkan supply tenaga kerja melebihi demand atau kebutuhan. Akibatnya, banyak lulusan sulit mendapatkan pekerjaan.
Kondisi ekonomi global yang belum stabil turut memengaruhi situasi ini. Perang dagang antara Amerika Serikat dan negara-negara lain, khususnya Tiongkok, masih berlangsung tanpa tanda-tanda akan segera berakhir. Selain itu, konflik di Timur Tengah antara Israel, Palestina, Yaman, dan Iran juga berdampak pada perekonomian dunia. Semua ini memperlambat pertumbuhan ekonomi, termasuk di Indonesia.
Di dalam negeri, kondisi ekonomi juga belum pulih sepenuhnya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami efisiensi, sehingga belanja pemerintah berkurang. Hal ini memperlambat perputaran ekonomi. Ditambah lagi, Indonesia baru saja memasuki tahun pertama kepemimpinan presiden baru, di mana investor cenderung menunda investasi.
Selain faktor ekonomi, ada empat penyebab lain yang terkait langsung dengan kesiapan lulusan dalam memasuki dunia kerja. Dua di antaranya berkaitan dengan kompetensi dan dua lainnya dengan karakter. Berikut penjelasannya:
Kompetensi yang Kurang Memadai
Tiga penyebab utama terkait kompetensi adalah ketidakmampuan dalam keterampilan, ketidaksesuaian antara lulusan dengan kebutuhan pasar kerja, serta perkembangan teknologi seperti AI. Lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, perlu melakukan evaluasi terhadap efektivitas pendidikan yang diberikan.
Perguruan tinggi harus memastikan bahwa jurusan dan program studi yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan industri. Desain kurikulum juga perlu disesuaikan agar bisa menjawab tantangan masa depan. Selain itu, kompetensi dosen dan proses pembelajaran harus ditingkatkan agar mahasiswa dapat memperoleh ilmu yang relevan.
Perkembangan teknologi, khususnya AI, juga menjadi tantangan. Prodi yang pekerjaannya bisa digantikan oleh AI perlu dikurangi atau bahkan ditutup. Di sisi lain, prodi yang dapat menggunakan atau menciptakan AI perlu didorong. Semua program studi sebaiknya mengintegrasikan teknologi agar bisa saling melengkapi.
Karakter yang Kurang Tangguh
Penyebab kedua terkait dengan karakter lulusan. Banyak sarjana kurang berani mencoba hal-hal baru. Meskipun lapangan kerja formal terbatas, ada banyak peluang di lapangan kerja non-formal, terutama di era digital saat ini. Namun, banyak lulusan enggan menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.
Masalah ini sering dipengaruhi oleh pola asuh orang tua yang terlalu memanjakan anak. Anak-anak biasanya tidak diajarkan untuk mandiri, sehingga ketika mereka dewasa dan harus menghadapi tantangan hidup sendiri, mereka kesulitan. Solusinya adalah menerapkan pola asuh yang lebih otoritatif, bukan hanya memanjakan.
Anak-anak perlu diberi otoritas namun juga tanggung jawab. Mereka harus belajar membuat keputusan sendiri dan menerima konsekuensinya. Dengan demikian, mereka akan lebih siap menghadapi tantangan di dunia nyata.