Warga Badui Dalam berdiri di aliran sungai Ciujung di Desa Kanekes. INDONESIA.GO.ID/ Bismo Agung
Kawalu, Ritual Penyucian Diri Suku Badui Tertutup bagi Wisatawan
Warga Badui memiliki keunikan tradisi yang tak dipunyai oleh suku lainnya. Setiap tahun, orang-orang Badui akan melaksanakan tradisi penyucian diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dikenal dengan Kawalu dan menjadi bagian dari kepercayaan Sunda Wiwitan.
Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik pada 2010 menyebutkan, ada sekitar 1.331 kelompok suku bangsa di Indonesia. Setiap suku telah menciptakan kebudayaannya masing-masing. Salah satunya adalah masyarakat Badui, suku yang mendiami kawasan berbukit-bukit di Pegunungan Kendeng, pedalaman Kabupaten Lebak, Banten. Secara administratif, lokasinya ada di Desa Kanekes, Kemantren Cisimeut, Kecamatan Leuwidamar.
Jarak Desa Kanekes dari Jakarta sekitar 160 kilometer dan dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama sekitar 4–5 jam. Jika dari Kota Serang, sebagai ibu kotanya Provinsi Banten, maka jarak ke Kanekes sekitar 78 km. Bila berangkat ke Kanekes dari Rangkasbitung, pusat kota Kabupaten Lebak, jarak tempuhnya sekitar 50 km atau akan lebih dekat lagi jika dari Kecamatan Leuwidamar, yaitu sekitar 27 km.
Masyarakat Badui menempati area seluas 5.101,85 hektare yang terdiri dari 59 kampung dan terdiri dari ladang, perkebunan, pertanian yang mereka sebut sebagai huma, permukiman, dan kawasan hutan lindung. Mereka yang jumlahnya mencapai 26 ribu orang, membagi diri menjadi Badui Tangtu atau dikenal dengan Badui Dalam yang menempati daerah sebelah selatan dan meliputi Kampung Cibeo, Cikawartana, dan Cikeusik.
Sedangkan masyarakat Badui Luar atau Badui Panamping terdapat di 56 kampung dan adanya di sisi utara dari Badui Dalam. Warga Badui memiliki keunikan tradisi yang tak dipunyai oleh suku lainnya. Setiap tahun, orang-orang Badui akan melaksanakan tradisi penyucian diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dikenal dengan Kawalu dan menjadi bagian dari kepercayaan Sunda Wiwitan.
Ritual itu berlangsung tiga bulan dan selama kegiatan itu diadakan, khusus masyarakat Badui Dalam akan menutup kawasan kampungnya dari kunjungan orang-orang luar, termasuk wisatawan domestik dan mancanegara.
Maklum saja, kawasan asri di Desa Kanekes, baik Badui Dalam dan Badui Luar, merupakan objek wisata andalan Banten untuk para wisatawan dengan minat khusus yang tertarik pada budaya dan lingkungan hidup. Tertutupnya kawasan perkampungan di Badui Dalam tentu bukan tanpa sebab.
Urang Kanekes, begitu mereka dikenal, menginginkan ketenangan dalam menjalankan Kawalu dan itu hanya bisa didapat jika dilakukan saat situasi tenang dan damai. Tahun ini, Kawalu dilaksanakan sejak 24 Januari 2023 sampai 24 April 2023.
Penetapan itu dilakukan berdasarkan kesepakatan pemimpin adat (tangtu tilu) yaitu Tangtu Tilu Jaro Tujuh Lembaga Adat Desa Kanekes serta tokoh-tokoh masyarakat Badui Dalam. Keputusan mengenai waktu pelaksanaan akan dihasilkan setelah para pemimpin adat itu menyelesaikan puasa hari ke-18 dan melaksanakan upacara ngeriung, atau selamatan.
Seperti dijelaskan dalam website Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kawalu berasal dari kata walu yang bermakna balik atau pulang. Upacara ini juga dikenal sebagai ngukus atau membakar dupa untuk mengiringi sesajen pemujaan kepada para leluhur. Kawalu adalah salah satu rangkaian perayaan kepercayaan di Badui Dalam dan tahapannya adalah upacara Ngalanjakan, Kawalu, Ngalaksa, dan Seba.
Bentuk Syukur
Menurut Kepala Desa Kanekes sekaligus pemimpin adat Badui, Jaro Saija seperti diwartakan Antara, ritual Kawalu merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat Badui kepada Sang Hyang Karesa atas berkah hasil alam yang diberikan. Masyarakat Badui Dalam dan Badui Luar dikenal dengan hasil pertanian dan perkebunan seperti padi huma, jagung, pisang, sayur mayur, dan cabai.
Oleh karenanya, tradisi Kawalu diadakan setelah masa panen selesai dilaksanakan. Ritual puasa seharian penuh sejak pukul 17.00 WIB sebelum hari H dan berakhir pada jam 17.00 WIB keesokan harinya diadakan pada bulan Kasa, Karo, dan Katilu dalam penanggalan orang Badui.
Puasa diadakan sehari pada satu bulan seperti tanggal 17 bulan Kasa, dikenal sebagai Kawalu Tembey atau Kawalu Pertama, kemudian tanggal 18 bulan Karo atau Kawalu Tengah. Terakhir adalah pada tanggal 17 bulan Katilu atau disebut dengan Kawalu Tutug. Selama puasa, mereka tidak diperkenankan makan dan minum hingga menjelang waktu berbuka. Makna Kawalu adalah untuk pensucian diri dari nafsu jahat.
Setiap tanggal 15 bulan Kasa atau sebelum berpuasa seluruh warga Badui Dalam wajib membersihkan lingkungan dan dilarang memakan atau mengolah hasil panen. Mereka hanya diperkenankan menggiling padi dengan cara tradisional yang disebut nutu. Jaro Saija menyebut, tradisi Kawalu sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam dan harus diikuti oleh seluruh orang Badui Dalam, laki-laki dan perempuan, kaum tua dan muda.
Orang lanjut usia dengan keterbatasan fisik atau perempuan yang sedang menstruasi tidak diwajibkan berpuasa. Karena sifatnya wajib, jika ada orang Badui Dalam yang melanggarkan kecuali beberapa yang tidak diwajibkan tadi, maka akan diberikan sanksi adat atau kabendon. “Dengan pelaksanaan Kawalu, kami berharap masyarakat Badui sejahtera, damai, dan sehat selalu,” ucap Jaro Saija.
Tokoh masyarakat Badui Dalam yakni Ayah Mursid mengatakan, selama Kawalu mereka dilarang mengadakan pesta pernikahan dan sunatan karena akan menimbulkan keramaian. Kendati tertutup untuk orang luar, masyarakat Badui Dalam masih mengizinkan pejabat daerah atau pejabat negara untuk masuk, meski dibatasi hanya untuk lima orang.
Setiap kepala kampung atau puun wajib memimpin tradisi Kawalu di daerahnya dibantu oleh para Jaro Tujuh dan Baresan Palawari atau panitia pelaksana. Selepas menjalani ritual Kawalu, mereka pun mengadakan Seba dan secara beramai-ramai akan turun gunung menuju pusat kota untuk bertemu Ibu Gede dan Bapak Gede, masing-masing Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar.
Ketika turun gunung dan bertemu kedua pejabat itu, para tokoh masyarakat Badui Dalam akan membawa hasil bumi seperti beras, pisang, gula aren, dan sayuran. Perjalanan dari Desa Kanekes menuju pusat kota di Rangkasbitung dan Serang sejauh total 160 km pulang pergi dilakukan dengan berjalan kaki. Sejak dulu kala, para leluhur Badui Dalam sudah melarang masyarakat mereka untuk menaiki kendaraan ke mana pun bepergian.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id