PEMERINTAHAN baru mesti bergerak cepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari upaya mempertahankan pembangunan nasional berkelanjutan.
“Sejumlah faktor pendorong pertumbuhan ekonomi harus konsisten direalisasikan untuk menginisiasi dan mempertahankan stabilitas ekonomi masyarakat demi melanjutkan pembangunan nasional,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Tantangan Ekonomi Pemerintahan Baru yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (9/10).
Diskusi yang dimoderatori Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Prof. Badri Munir Sukoco, SE. MBA. Ph.D. (Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga), Fauzi Amro (Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem) dan Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D. (Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada) sebagai narasumber. Selain itu, hadir pula Titis Nurdiana (Pemimpin Redaksi Kontan) sebagai penanggap.
Baca juga : MPR: Perbaikan Kualitas Demokrasi Harus Konsisten
Menurut Lestari, tantangan yang dihadapi pemerintahan baru tidak mudah. Rerie, sapaan akrab Lestari, mengungkapkan, dunia saat ini diwarnai sejumlah ketegangan geopolitik yang berpotensi memengaruhi kerja sama dagang dan investasi.
Belum lagi, tambah Rerie, disrupsi yang terjadi di berbagai sektor seperti transisi energi dan digitalisasi yang menuntut daya adaptasi yang tinggi dari masyarakat.
Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah berpendapat, sejumlah faktor pendorong seperti peningkatan konsumsi masyarakat, investasi dalam negeri, dan belanja pemerintah harus mampu direalisasikan secara konsisten demi mendukung pertumbuhan ekonomi.
Baca juga : MPR: Hadapi Dampak Perubahan Iklim di Tanah Air dengan Adaptif
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap pemerintah pusat dan daerah dapat berkolaborasi dengan baik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Badri Munir Sukoco, berpendapat sektor ekonomi saat ini menghadapi tantangan yang berat.
Agar Indonesia mampu terhindar dari middle income trap, ujar Badri, pemerintah harus mampu mendorong peningkatan investasi, invasion dan inovasi.
Baca juga : MPR Dorong Partisipasi Kaum Muda Tumbuhkan Sektor UMKM Nasional
Indonesia, tegas Badri, harus mampu menarik investor, harus aktif masuk dalam global supply chain dan mengembangkan riset dengan baik, agar punya peluang untuk mencapai target Indonesia Emas pada 2045 sebagai negara maju.
Untuk mewujudkan target itu, jelas dia, pemerintah pusat dan daerah harus berbagi tugas. “Kepala daerah harus ikut bertanggung jawab dalam menumbuhkan ekonomi daerahnya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Badri.
Salah satu cara yang bisa dilakukan, jelas Badri, penyaluran dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) hanya bisa diberikan ke daerah dengan syarat pemerintah daerah mengajukan proposal yang jelas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Baca juga : Pengembangan Seni Tari Berpotensi Bantu Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Menurut Badri, pertumbuhan ekonomi nasional 50%-nya ditopang oleh pertumbuhan di daerah-daerah di Jawa.
Bila daerah di Jawa perekonomiannya hanya tumbuh 5%, tegas Badri, sulit untuk mewujudkan pertumbuhan 8% di tingkat nasional.
Dengan kondisi tersebut, tegas Badri, kepala daerah juga harus bertanggung jawab untuk mewujudkan sejumlah target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang telah ditetapkan.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Akhmad Akbar Susamto, menilai tantangan ekonomi pemerintahan baru tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah.
Akhmad Akbar berpendapat pada 2025 pertumbuhan ekonomi sudah kembali pada kondisi normal di angka 5%.
Namun, ujar dia, angka pertumbuhan itu bukan angka yang ideal untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju.
Dari sisi tenaga kerja, ujar Ahmad Akbar, saat ini banyak masyarakat bekerja di sektor informal. Lapangan pekerjaan formal belum tersedia seperti dahulu. Karena Indonesia, tegas dia, sejatinya mengalami deindustrialisasi yang parah.
Ahmad Akbar menilai, kemampuan pemerintah untuk memperbaiki kondisi tersebut sangat terbatas. “Ruang fiskal kita sangat sempit. Belum lagi ada janji-janji politik yang harus dipenuhi,” tegasnya.
Kabar baiknya, ujar dia, tren kebijakan moneter dunia saat ini menuju pelonggaran pada akhir 2024, sejumlah bank sentral menurunkan suku bunga acuan.
Sehingga, tambah Ahmad Akbar, upaya untuk memperbaiki kondisi perekonomian nasional secara menyeluruh dapat direalisasikan melalui berbagai potensi yang ada.
Anggota DPR RI, Fauzi Amro, berpendapat APBN 2025 disusun dengan semangat keberlanjutan dan optimisme, tetapi tetap hati-hati dan waspada terhadap dinamika global.
Menurut Fauzi, program pemerintahan Prabowo yang masuk pada APBN 2025 tercatat berkisar antara Rp115 triliun-Rp120 triliun di masa transisi.
Dia berharap, ada APBN 2025 Perubahan yang membuka peluang untuk memasukkan program-program pemerintahan Prabowo yang belum terakomodasi pada APBN 2025.
Fauzi mengingatkan defisit APBN 2025 senilai Rp616,1 triliun atau 2,53% harus dijaga. Kebijakan pengajuan utang baru, tambah dia, harus ditujukan untuk hal-hal yang produktif.
Menurut Fauzi, karena tagline kampanye pemerintahan Prabowo adalah keberlanjutan, pekerjaan rumah yang belum tuntas pada pemerintahan Jokowi merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintahan Prabowo.
Pemimpin Redaksi Kontan, Titis Nurdiana, berpendapat tantangan global dan lokal pada pemerintahan mendatang sama-sama menantang.
Pemerintah, tegas Titis, harus mampu memanfaatkan setiap peluang yang ada dengan sebaik-baiknya, demi mewujudkan kemakmuran masyarakat.
Menurut Titis, dorongan transfer dana ke daerah yang semakin besar, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan di daerah harus segera diantisipasi dengan penerapan reward dan punishment yang jelas.
Selain itu, tegas dia, upaya untuk menjadikan produk-produk lokal menjadi bagian dari rantai pasok global harus segera direalisasikan dengan peta jalan yang jelas.
Sementara itu wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat masa transisi pemerintahan harus dimaknai sebagai 100 hari awal pemerintahan Prabowo.
Pada tahap itu, tentu merupakan fase menumbuhkan kepercayaan publik melalui pembuktian janji-janji pada masa kampanye, terutama terkait program makan gratis.
“Bila makan gratis tidak dapat direalisasikan pada 100 hari pertama tentu pemerintah akan kesulitan untuk mendapat kepercayaan masyarakat,” ujar Saur.
Ke depan, jelas Saur, yang terpenting adalah mengatasi angka pengangguran dengan terus bertambahnya angkatan kerja. Salah satu jawabannya, tegas dia, adalah menghentikan deindustrialisasi.
Jadi, tambah Saur, pengembangan manufaktur harus menjadi prioritas, karena korporasilah yang bisa menciptakan lapangan kerja. “Ini harus menjadi perhatian pemerintahan baru,” tegasnya.
Selain itu, jelas dia, penurunan suku bunga kredit dan penurunan pajak harus direalisasikan.
Saur menyarankan, agar pemerintahan baru fokus pada upaya menghentikan deindustrialisasi. Upaya ini, tegas Saur, harus menjadi keputusan politik ekonomi yang terpenting. (*/Z-2)