SETIAP tersangka dinilai berhak melayangkan gugatan praperadilan untuk menguji keabsahan status hukumnya. Terutama, saat tersangka meyakini alat bukti yang menjeratnya belum kuat.
“Praperadilan boleh diajukan selagi dia yakin alat bukti yang dipakai penyidik belum sempurna, belum cukup dan atau dilakukan tidak dengan cara yang tidak sah,” kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, Jakarta, Selasa (21/1).
Mudzakkir mencontohkan langkah Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang mengajukan praperadilan dalam kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR. Dia mengatakan jika merasa dirugikan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), langkah yang bisa ditempuh adalah praperadilan.
“Atau penyidik menyalahgunakan wewenang, mungkin penyidik tidak melakukan perbuatan standar dalam menyidik, sehingga tidak melakukan tindakan penyidikan, maka (warga negara) menempuh langkah praperadilan,” kata Mudzakkir.
Menurut Mudzakkir, langkah praperadilan sah-sah saja sebagai warga negara. Apalagi langkah tersebut cara untuk menguji proses yang ditempuh penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, penetapan sah tidaknya tersangka menjadi objek praperadilan. Pertimbangan MK dalam putusannya itu mengungkap penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan.
Sementara itu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) bakal menggelar sidang permohonan praperadilan Hasto Kristiyanto pada 21 Januari 2025. KPK menetapkan Hasto sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terhadap eks anggota KPU Wahyu Setiawan pada 24 Desember 2024.
Penetapan ini berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tertanggal 23 Desember 2024. Hasto juga ditetapkan sebagai tersangka karena diduga merintangi penyidikan atau obstruction of justice (OOJ) dalam kasus Harun Masiku. (Can/I-2)