Politik Hari Perempuan Internasional, MA Bertekad Hadirkan Peradilan yang Inklusif

Hari Perempuan Internasional, MA Bertekad Hadirkan Peradilan yang Inklusif

3
0


Jakarta, IndonesiaDiscover – Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap 8 Maret, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) menyelenggarakan webinar dengan judul Peningkatan Kepemimpinan Hakim Perempuan di Pengadilan.

Webinar itu merupakan hasil kerja sama antara MA dan Federal Circuit and Family of Australia. Acara didukung pula oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

“Webinar yang diselenggarakan oleh MA, menunjukkan MA memiliki komitmen yang besar tentang pentingnya keseimbangan representasi serta kepemimpinan hakim perempuan pada badan peradilan di Indonesia,” ungkap Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Sunarto, dalam keterangan tertulis yang diterima IndonesiaDiscover, Selasa (18/4/2024).

Sunarto, menyampaikan seimbangnya representasi dan kepemimpinan hakim perempuan merupakan bagian penting untuk mewujudkan inklusivitas yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan kepercayaan publik yang kuat.

“Peradilan yang inklusif merupakan peradilan yang mampu memenuhi kebutuhan dan memberikan layanan peradilan bagi pencari keadilan tanpa terkecuali. Tidak memandang identitas gender, etnis, disabilitas ataupun kedudukan sosial dan ekonominya di dalam masyarakat,” ujar Sunarto, dalam keterangan tertulis yang diterima IndonesiaDiscover, Selasa (18/4/2023).

Sunarto menyadari, untuk menjadi peradilan yang inklusif, pada kenyataannya bukanlah hal yang mudah. Untuk dapat menjadi peradilan yang inklusif, pengadilan tidak dapat memberikan layanan yang sekedar sama atau equal untuk seluruh pencari keadilan. Pengadilan harus mengenali terlebih dahulu kebutuhan dari setiap kelompok pencari keadilan. Terutama mereka yang menjadi bagian dari kelompok minoritas atau kelompok rentan, seperti perempuan, anak, dan disabilitas.

“Setelah mengenali kebutuhan pencari keadilan dari kelompok ini, pengadilan kemudian harus berupaya menyediakan layanan yang khusus, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Bukan sekedar layanan yang sama. Pendekatan ini lah yang disebut dengan equity. Yaitu pemberian fasilitas, penerapan peraturan, atau pemenuhan hak secara berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing pihak, untuk mencapai kesetaraan atau keadilan untuk semuanya,” tuturnya.

Harus diakui bahwa representasi dan kepemimpinan hakim perempuan pada badan peradilan di Indonesia masih belum sepenuhnya ideal. Sebagai contoh, di lingkungan peradilan umum saat ini, Ketua Pengadilan Tingkat Banding perempuan baru mencapai 6 persen, atau hanya 2 orang dari 34 orang. Sementara Wakil Ketua Pengadilan Tingkat Banding, hanya 21 persen atau 6 dari 28 orang.

Meskipun demikian, representasi kepemimpinan hakim perempuan di pengadilan tingkat pertama menunjukkan peningkatan yang cukup baik. Persentase perempuan yang menjadi Ketua pengadilan tingkat pertama di lingkungan peradilan umum adalah 24 persen atau 85 orang dari 357 orang. Sementara persentase Wakil Ketua pengadilan tingkat pertama mencapai 29 persen atau 88 dari 301 orang.

Untuk meningkatkan representasi dan kepemimpinan hakim perempuan, MA telah mempertimbangkan dan menerapkan beberapa pendekatan. Pada aspek pengembangan dan pembinaan karir hakim, memahami tantangan yang dihadapi hakim perempuan dalam menyeimbangkan peran professional dan peran keluarga, dalam beberapa tahun terakhir Mahkamah Agung mengupayakan agar hakim perempuan sedapat mungkin ditempatkan di pengadilan-pengadilan yang dekat, atau terjangkau dari lokasi keluarganya. Jika kebetulan suami hakim tersebut  juga berprofesi hakim, maka Mahkamah Agung akan menempatkan keduanya di pengadilan yang saling berdekatan.

Selain itu, MA juga berkomitmen agar suara hakim perempuan didengar dan diakomodir dalam proses pengambilan keputusan terkait mutasi dan promosi hakim. Untuk itu, dalam setiap Rapat Pimpinan Mahkamah Agung yang memutuskan mutasi dan promosi hakim, selalu dilibatkan satu atau dua orang hakim agung perempuan untuk didengar pendapat dan saran mereka terkait penempatan hakim perempuan. Baik dalam konteks tour of duty dan tour of area, sebagai pimpinan maupun hakim biasa. Kebijakan untuk melibatkan hakim agung perempuan yang bukan  unsur pimpinan tersebut bertujuan untuk meminimalisir potensi terjadinya bias gender yang tidak disadari dalam proses penetapan keputusan.

Yang paling mutakhir adalah, saat ini MA sedang melakukan survei tentang peran dan kepemimpinan hakim perempuan untuk mengetahui tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh hakim perempuan untuk meraih posisi kepemimpinan pada badan peradilan.

Jika mengembalikan pada visi MA untuk terus meningkatkan komposisi dan representasi kepemimpinan hakim perempuan di pengadilan, webinar pada pagi hari ini menjadi sangat penting untuk mendukung terwujudnya visi tersebut.

Foto: Dok MA

Tinggalkan Balasan