Politik Penghapusan Presidential Threshold Mencabut Golden Ticket Partai dan Elite Penguasa

Penghapusan Presidential Threshold Mencabut Golden Ticket Partai dan Elite Penguasa

25
0
Penghapusan Presidential Threshold Mencabut 'Golden Ticket' Partai dan Elite Penguasa
Sidang penghapusan presidential threshold di Mahkamah Konstitusi.(Dok. Antara)

SIKAP progresif Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusan bernomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dinilai memiliki cukup alasan karena tingginya atensi dan harapan publik untuk mendorong reformasi Pemilu melalui jalur peradilan.

Peneliti Hukum dan Regulasi pada CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Muhammad Saleh, Kamis (2/1) malam kepada wartawan di Yogyakarta menjelaskan putusan MK tersebut telah menghapus golden ticket partai-partai penguasa baik yang ada di DPR maupun pemerintah untuk menciptakan dominasi yang mengarah ke konsentrasi kekuasaan dalam Pemilu.

Menurut dia, adanya presidential threshold senyatanya menggambarkan situasi di mana satu atau sekelompok partai politik atau kelompok elite politik memiliki kendali signifikan, bahkan hampir penuh, atas jalannya proses pemilu, sehingga membatasi ruang kompetisi yang sehat dan merugikan prinsip demokrasi.

“Indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan, sebagaimana tercermin dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU). Pada 2023, skor demokrasi Indonesia tercatat di angka 6,53, turun dari 6,71 pada tahun sebelumnya, menempatkan negara ini dalam kategori demokrasi cacat atau flawed democracy,” jelasnya.

Menurut dia putusan penghapusan presidential threshold terbit di saat  pembentuk undang-undang yakni DPR dan Presiden tidak ingin mengubah pendirian yang terus mempertahankan presidential threshold.

Karena itu, Muhammad Saleh kemudian mengajak seluruh masyarakat untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi ini. Muhammad Saleh mengingatkan pula, putusan MK tentang presidential thershold ini masih berpotensi dilanggar oleh pembentuk undang undang dalam revisi Undang Undang Pemilu.

Muhammad Saleh meminta kepada para pembentuk undang ndang untuk tidak menafsirkan putusan MK tentang presidential threshold ini  melalui langkah-langkah manipulatif untuk terus mempertahankan dominasi partai politik.

“Pembentuk undang-undang tidak mengulangi upaya pengabaian putusan MK seperti yang hampir terjadi dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Pilkada, yang banyak ditolak publik,” ujarnya.

Masyarakat luas pendukung demokrasi sehat, jelasnya, harus mengawal agar perbaikan pelaksanaan Pemilu ke depan harus benar-benar mengacu pada rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Perubahan sistem Pemilu katanya, sebaiknya dirumuskan pada masa-masa sebelum proses Pemilu berlangsung (tidak mendekati tahapan atau pada masa tahapan).

Rambu-rambu tersebut, ujarnya pertama, setiap partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa bergantung pada jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah nasional. “Kedua, partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusulkan pasangan calon, asalkan gabungan tersebut tidak menyebabkan dominasi yang membatasi jumlah pasangan calon dan pilihan pemilih,” ujarnya.

Ketiga, partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden akan dikenakan sanksi berupa larangan mengikuti pemilu pada periode berikutnya. Keempat, perumusan perubahan UU Pemilu harus melibatkan semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR. Kelima, proses perubahan ini harus menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), untuk memastikan keterlibatan yang transparan dan inklusif. (Z-9)

Tinggalkan Balasan