MANDEKNYA pengusutan uang tunai sitaan senilai hampir Rp1 triliun dari rumah mantan Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar oleh penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejaksaan Agung menjadi bukti pentingnya kehadiran Undang-Undang Perampasan Aset dalam sistem hukum Indonesia.
Zarof merupakan tersangka kasus dugaan permufakatan jahat terkait suap dan atau gratifikasi pengurusan perkara terpidana pembunuhan, Gregorius Ronald Tannur. Namun, yang disita dari kediamannya diduga juga berasal dari makelar kasus lainnya. Selain uang tunai senilai Rp920 miliar, penyidik juga menyita emas dengan total 51 kilogram.
Kendati demikian, penyidik masih belum berhasil mengungkap asal usul uang maupun emas tersebut sampai saat ini. Apalagi, JAM-Pidsus juga tidak menyangkakan Zarof dengan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pakar TPPU Yenti Garnasih menyebut, lambatnya pengutusan asal usul uang dan emas sitaan dari Zarof itu disebabkan karena Indonesia tidak memiliki UU Perampasan Aset. Lewat UU tersebut, aset milik Zarof yang telah disita di tahap penyidikan menurut Yenti sudah dapat ditindaklanjuti.
“Kalaupun kasusnya (suap) dia belum selesai, ini kasus (uang dan emas sitaan) bisa langsung dibawa ke pengadilan umum (dengan UU Perampasan Aset), diadili tuh barang-barangnya untuk disita oleh negara. Jadi kita enggak stagnan kayak sekarang ini,” terang Yenti kepada Media Indonesia, Sabtu (23/11).
Bahkan, ia menyebut lewat UU Perampasan Aset, rumah Zarof yang berlokasi di bilangan Senayan, Jakarta Selatan, juga dapat disita penyidik jika berdasarkan hasil pendalaman tidak sesuai dengan profil dan pendapatan Zarof.
Dengan adanya UU Perampasan Aset, Yenti menegaskan bahwa pengungkapan sumber uang maupun emas tersebut juga tidak perlu menunggu proses sidang sebagaimana yang sempat disampaikan Direktur Penyidikan JAM-Pidsus Kejagung Abdul Qohar.
“Nanti pada saatnya akan terungkap, dibuka persidangan. Di sana semua punya hak bertanya, jaksa jawab, ada hak hukum terdakwa, nanti majelis hakim yang akan memutuskan ya, semua akan terbuka,” kata Qohar, Selasa (12/11).
Bagi Yenti, miskonsepsi yang selama ini beredar adalah bahwa UU Perampasan Aset hanya mengurusi aset-aset dari kasus korupsi setelah mendapat putusan dari pengadilan. Padahal, beleid tersebut mampu menangani aset sejak disita di tahap penyidikan.
“Ketika menemukan barang sitaan yang tidak jelas itu bisa dibawa ke pengadilan, non-conviction based. Jadi ada penyitaan tanpa penghukuman,” tandasnya.
Sebelumnya, analis hukum senior pada Direktorat Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Azamul Fahdly mengingatkan DPR tentang pentingnya kehadiran RUU Perampasan Aset untuk memberantas korupsi di Tanah Air.
“Lebih menakutkan kalai kita enggak punya RUU Perampasan Aset. Kalau misalnya kita sudah punya, nanti tinggal bagaimana mekanismenya yang kita jaga, kita kawal, atau kita sebut sebagai safeguard-nya itu banyak sebenarnya yang bisa kita buat,” katanya, Rabu (20/11).
Diketahui, DPR tidak memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Alih-alih, DPR hanya menempatkan calon beleid tersebut dalam prolegnas jangka menengah. Artinya, pengesahan RUU tersebut belum dapat dilakukan dalam waktu dekat. (Z-11)