Sosial Budaya Toleransi dari Kampung Tanjung, Cermin Kebinekaan Indonesia

Toleransi dari Kampung Tanjung, Cermin Kebinekaan Indonesia

3
0

  Kelenteng Kong Fuk Miau. DINAS PARIWISATA BANGKA BARAT

Toleransi dari Kampung Tanjung, Cermin Kebinekaan Indonesia

Kelenteng Kong Fuk Miau dan Masjid Jami menjadi ikon simbol kerukunan paling nyata di Provinsi Bangka Belitung. Letak keduanya hanya dipisahkan oleh sebuah jalan kecil.

Jarum jam baru menunjuk pukul 15.10 WIB ketika Wili dan kawan-kawannya menyudahi untuk sementara latihan barongsai mereka di halaman Kelenteng Kong Fuk Miau di Kabupaten Bangka Barat. Jeda itu seiring berkumandang azan sebagai penanda masuknya waktu salat Asar dari pelantang di menara Masjid Jami yang bersebelahan lokasinya.  

Pemuda 22 tahun itu dan teman-temannya pun rehat sambil menyantap pelite, kue khas Bangka Barat. Pelite juga menjadi favorit Presiden RI Pertama Soekarno ketika diasingkan ke Pulau Bangka. Usai beristirahat 10 menit, mereka pun melanjutkan latihan barongsainya.

Itulah sekelumit wajah yang ditampilkan dua ikon cagar budaya di Provinsi Bangka Belitung, Kelenteng Kong Fuk Miau dan Masjid Jami. Kedua rumah ibadah itu letaknya begitu berdekatan, hanya dipisahkan oleh sebuah jalan kecil selebar 4 meter. Lokasi kedua bangunan simbol kerukunan masyarakat Bangka Barat ini berada di Jl Imam Bonjol nomor 1 Kampung Tanjung, Kecamatan Muntok, atau sekitar 1 kilometer dari Pelabuhan Muntok.

Toleransi kehidupan beragama semacam itu menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang sudah dikenal luas bukan sebatas teori di atas kertas saja. Hal itu telah dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya sejak berabad silam. Tak terkecuali di Muntok, daerah penghasil timah dan lada putih (white pepper) terbaik di dunia sejak era kolonial Belanda.

Muntok dapat dicapai melalui jalur darat dari Pangkalpinang yang merupakan ibu kota Provinsi Bangka Belitung (Babel), selama hampir tiga jam atau sejauh sekitar 140 kilometer. Perjalanan menuju Muntok, ibu kota Bangka Barat, melewati jalan beraspal mulus dan naik-turun karena kontur daerahnya yang berbukit.

Seperti juga daerah lainnya di Bumi Serumpun Sebalai, Melayu dan Tionghoa menjadi dua etnis berpopulasi terbanyak di Muntok. Melayu berpopulasi sekitar 60 persen dari total penduduk Babel, sedangkan etnis Tionghoa mengisi 30 persen dan sisanya adalah Jawa, Sunda, Bugis, Batak, Minangkabau, dan suku lainnya. Namun mereka dipersatukan oleh filosofi lama berbahasa Mandarin yang dipertahankan sampai sekarang, yaitu fan ngin, to ngin, jit jong. Artinya, pribumi, Melayu, Tionghoa, dan semuanya sama serta setara.

 

Kelenteng Kong Fuk Miau  

Orang-orang Tionghoa memasuki Muntok berbarengan dengan dibukanya kota di pesisir Bangka itu sebagai pusat perdagangan timah era 1721-1756. Menurut sejarawan setempat, Akhmad Elvian, dalam Kampoeng di Bangka, kehadiran etnis Tionghoa kian hari bertambah banyak, terlebih ketika Sultan Ahmad Najamuddin Adikusumo memerintah Kerajaan Sriwijaya pada 1757-1776. Sultan meyakini, orang-orang asal daratan Tiongkok dinilai lebih terampil dan sudah menguasai teknologi penambangan dan pengolahan timah.

Seiring waktu, orang-orang etnis Tionghoa asal Provinsi Guangdong, Tiongkok, yang berada sana memerlukan rumah ibadah untuk bersembahyang. Maka pada 1820, dimulailah pembangunan Kelenteng Kong Fuk Miau saat Dinasti Qing berkuasa di Tiongkok dan menjadi rumah ibadah pertama etnis Tionghoa di Muntok.

Dalam bahasa Hakka, kelenteng seluas 2.280 meter persegi dengan atap berbentuk pelana (saddleback-roof) itu dilafalkan sebagai Guang Fu Miao, ini merupakan gabungan dari kata Guang yang merujuk kepada Guangdong, Fu untuk daerah Fujian (Tiongkok).

Sedangkan Miao berarti kuil peribadatan. Pada awalnya bangunan Kelenteng Kong Fuk Miau dibangun menggunakan kayu dan berlantai tanah. Terdapat dua pagoda bertingkat tujuh di sisi timur laut dan tenggara halaman depan kelenteng.

Seperti dikutip dari website Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bangka Barat, bangunan kelenteng yang didominasi warna merah dan kuning serta menghadap ke arah timur ini berbentuk persegi panjang. Ukurannya yaitu panjang 13,7 meter dan lebar 24,6 meter serta tinggi 7,1 meter.

Saat renovasi pertama pada Februari 1977, seluruh dinding kayu diganti menjadi tembok dan tiang beton. Lantainya pun diubah menjadi keramik supaya tidak mudah becek ketika terkena air hujan. 

     

Masjid Jami

Sekitar empat meter di sisi kiri kelenteng terdapat Masjid Jami dan menjadi bangunan rumah ibadah umat Muslim tertua di Muntok. Pembangunannya terpaut 63 tahun lebih muda dari kelenteng atau sekitar 1883 atau bertepatan pada 19 Muharam 1300 Hijirah. Masjid berdiri di atas lahan wakaf milik tokoh masyarakat setempat, Tumenggung Arifin dan H Muhammad Nur seluas 7.500 meter.

Saat pembangunannya turut dibantu oleh masyarakat Tionghoa termasuk para saudagar mualaf, selain dari umat Muslim Muntok sendiri. Keterlibatan masyarakat Tionghoa dalam membangun masjid tak lepas dari peran Mayor Chung A Thiam yang turut memimpin pembangunan bersama tokoh Muslim setempat.

Ia adalah petinggi militer yang diangkat kolonial Belanda untuk memimpin etnis Tionghoa di Muntok, dan kediamannya hanya berjarak 700 meter dari kedua rumah ibadah itu. Ia turut menyumbang empat tiang utama masjid yang terbuat dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri).

Pembangunan masjid berkelir hijau dan putih tersebut memakan waktu tiga tahun dan resmi dipakai untuk ibadah pada tahun 1887. Arsitektur Masjid Jami kental dengan nuansa Melayu, Tiongkok, dan Eropa. Tangga di sisi kiri dan kanan bagian depan masjid modelnya mirip seperti pada rumah-rumah etnis Melayu.

Bagian atapnya terdapat pengaruh bangunan masjid kuno di tanah Jawa yang berbentuk limas. Sedangkan harmoni gaya Eropa terdapat pada model tiang penyangga, pintu, dan jendela masjid yang tinggi dan bukaan lebar.

Aroma Tionghoa diadopsi pada model menara segilima enam tingkat yang dibangun belakangan bersama bangunan pesantren dan gedung pertemuan. Sepintas bentuk menara ini makin mengecil pada puncaknya dengan atap sedikit melengkung dan mengingatkan kita dengan bentuk pagoda.

Keunikan arsitekturnya membuat Proklamator Bung Karno saat diasingkan di Bukit Menumbing, yang jaraknya sekitar 20 menit, beberapa kali mampir untuk salat di Masjid Jami.

 

Simbol Kerukunan

Kelenteng Kong Fuk Miau dan Masjid Jami menjadi ikon simbol kerukunan paling nyata yang ada di Bangka Belitung. Demikian dituturkan oleh pengurus masjid, Ustaz Fahmi, dan Juru Pelihara Kelenteng Kong Fuk Kiong, Paularita. Jika ada kegiatan di masjid seperti pengajian dan salat tarawih yang berbenturan dengan jadwal perayaan di kelenteng, maka pengurus kelenteng bertoleransi. Misalnya, pembukaan perayaan sengaja meniadakan atraksi tari barongsai.

Ustaz Fahmi pun menyebut, volume pelantang masjid cenderung dikecilkan ketika digelar pengajian bersamaan di kelenteng sedang ada perayaan. “Kami selalu saling memberitahukan kegiatan di rumah ibadah masing-masing. Sebab, semua itu bisa dibicarakan dan dimusyawarahkan. Itu yang membuat kami dapat menjaga keharmonisan hubungan kedua agama,” ucap Ustaz Fahmi.

Ketika pihak kecamatan menggelar kerja bakti membersihkan lingkungan, kedua pengurus rumah ibadah selalu diajak bertukar posisi membersihkan kawasan rumah ibadah. Pengurus kelenteng akan diarahkan membersihkan pekarangan Masjid Jami dan demikian sebaliknya. “Sejak dulu kami selalu rukun dan sudah tertanam dari nenek moyang kami. Kita tinggal meneruskan saja,” kata Paularita.

Ustaz Fahmi, Paularita, serta Wili mewakili umatnya masing-masing, telah mengajarkan kepada kita sebuah kesadaran akan kebutuhan untuk saling menghargai antaretnis dan antarpemeluk agama. Modal toleransi itulah yang membuat Muntok tetap mampu merawat kebinekaannya sampai hari ini.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari


  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id


Source link

Tinggalkan Balasan