
Peran Operasi Modifikasi Cuaca dalam Pengendalian Karhutla
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan bahwa pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak bisa hanya mengandalkan satu metode. Salah satu teknik yang digunakan adalah Operasi Modifikasi Cuaca (OMC), atau yang dikenal sebagai teknologi hujan buatan. Namun, operasi ini memiliki batasan tertentu, terutama dalam hal syarat kondisi atmosfer.
Operasi modifikasi cuaca membutuhkan intensitas pertumbuhan awan yang tinggi agar bisa dilakukan secara efektif. Jika tidak ada awan potensial untuk disemai, maka OMC tidak dapat dijalankan. Hal ini menunjukkan bahwa strategi pencegahan karhutla harus bersifat multi-lapis dan tidak bergantung sepenuhnya pada satu pendekatan.
Fase Kritis dan Persiapan Alternatif
Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, menyampaikan bahwa periode akhir Juli hingga awal Agustus 2025 menjadi fase kritis yang perlu mendapatkan perhatian ekstra, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Prediksi cuaca menunjukkan bahwa potensi pertumbuhan awan di Sumatera berada pada kategori tinggi antara 29–31 Juli, namun akan menurun sementara pada awal Agustus, lalu kembali meningkat pada 3–4 Agustus. Sementara itu, di Kalimantan, pertumbuhan awan masih tergolong sedang hingga 30 Juli, kemudian mulai meningkat pada 31 Juli hingga mencapai puncaknya pada 3–4 Agustus.
Dalam situasi di mana potensi hujan rendah dan tingkat bahaya kebakaran tinggi, seluruh pemangku kepentingan di daerah harus meningkatkan kewaspadaan. Ini meliputi pemetaan wilayah rentan, mobilisasi sumber daya pengendalian, serta pencegahan dini kebakaran.
Hubungan Antara Curah Hujan dan Risiko Karhutla
Analisis data curah hujan dan indeks Fine Fuel Moisture Code (FFMC) menunjukkan bahwa semakin rendah curah hujan, semakin tinggi tingkat kekeringan lapisan bahan bakar ringan di permukaan tanah. Hal ini meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan secara signifikan.
Oleh karena itu, pemantauan curah hujan tidak hanya penting untuk memperkirakan potensi hujan, tetapi juga menjadi indikator utama dalam menentukan fase-fase rawan kebakaran. Dengan demikian, upaya mitigasi harus didasarkan pada data cuaca yang akurat dan terkini.
Pelaksanaan Operasi Modifikasi Cuaca di Wilayah Prioritas
Untuk mendukung upaya mitigasi, BMKG bekerja sama dengan BNPB dan TNI AU, serta didukung oleh Pemerintah Provinsi, telah melakukan operasi modifikasi cuaca di sejumlah provinsi prioritas, seperti Riau, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Jambi, dan Kalimantan Barat. Efektivitas penyemaian hujan di wilayah-wilayah tersebut diklaim mencapai tingkat keberhasilan 85 hingga 100 persen, dengan akumulasi curah hujan mencapai lebih dari 586 juta meter kubik.
Di Provinsi Riau, jumlah titik panas (hotspot) yang semula mencapai 173 titik pada 19 Juli berhasil ditekan menjadi nol pada 28 Juli setelah operasi modifikasi cuaca dilaksanakan secara konsisten sejak 21 Juli. Efek serupa juga terlihat di Sumatra Barat, yang mencatat penurunan dari 18 hotspot menjadi nol dalam waktu satu minggu. Selain itu, indikator keberhasilan lainnya terlihat dari penurunan jumlah stasiun Tinggi Muka Air Tanah (TMAT) yang berada dalam kategori rawan, terutama di Riau dan Sumatera Selatan.
Strategi Pengendalian Karhutla yang Berlapis
Dwikorita menekankan bahwa keberhasilan hujan buatan hanya bisa terjadi jika kondisi atmosfer mendukung. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan seluruh elemen penanganan karhutla diminta untuk memetakan secara rinci titik-titik rawan, menyusun kalender periode kritis berdasarkan kondisi lokal, serta menyiapkan berbagai skenario intervensi baik berbasis cuaca maupun non-cuaca.
Strategi pengendalian karhutla tidak boleh terpaku pada pendekatan tunggal. Harus ada beberapa lapisan tindakan, termasuk patroli darat, edukasi masyarakat, dan larangan pembakaran lahan. Dengan pendekatan yang komprehensif, risiko kebakaran hutan dan lahan dapat diminimalkan secara signifikan.