Ragam AI Bisa Salah dan Diskriminatif: Konsultasi Kesehatan Mental Harus Profesional

AI Bisa Salah dan Diskriminatif: Konsultasi Kesehatan Mental Harus Profesional

21
0

Fenomena Curhat dengan Chatbot AI yang Marak di Kalangan Berbagai Usia

Di era digital saat ini, banyak orang memilih untuk curhat atau berbicara tentang masalah pribadi mereka dengan chatbot kecerdasan buatan (AI). Fenomena ini tidak hanya terjadi pada generasi Gen Z dan Milenial, tetapi juga semakin umum di kalangan lansia. Kehadiran AI seolah menjadi solusi untuk mengatasi rasa kesepian yang sering dirasakan oleh masyarakat modern.

Menurut sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2025, sebanyak 58% dari 3.611 responden di Indonesia bahkan mempertimbangkan AI sebagai pengganti psikolog. Alasan utama yang mendorong penggunaan AI adalah kenyamanannya. AI bisa diakses kapan saja, biayanya lebih terjangkau dibandingkan layanan psikolog atau psikiater, dan memberikan respons cepat tanpa perlu menunggu janji temu.

Namun, meskipun AI menawarkan banyak kemudahan, kita perlu waspada karena teknologi ini memiliki beberapa kelemahan yang bisa berdampak negatif, terutama dalam konteks kesehatan mental.

AI Rentan Mengalami Kesalahan dan Salah Diagnosis

Salah satu masalah utama dari AI adalah kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis. AI dirancang untuk meniru sifat-sifat manusia melalui antropomorfisme. Teknologi ini mampu memberikan respons emosional, berkomunikasi secara ramah, dan menjawab hampir semua pertanyaan tanpa membuat pengguna merasa dihakimi. Hal ini menciptakan kesan bahwa AI benar-benar memahami pengguna.

AI menggunakan sistem pengolahan bahasa alami (NLP) dan model bahasa besar (LLM) untuk memahami dan berinteraksi seperti manusia. Selain itu, AI belajar dari data dan pola interaksi dengan pengguna. Namun, kelemahan utamanya adalah AI hanya dilatih berdasarkan pola preferensi pengguna, bukan dengan akal sehat atau empati. Akibatnya, AI rentan bias dan bisa salah dalam mengenali gejala atau memberikan saran psikologis.

1. Kesalahan Diagnosis

Penelitian dari Google DeepMind menunjukkan bahwa AI bisa memberikan informasi dan diagnosis yang salah, meskipun telah dilatih menggunakan data yang luas dan beragam. Masalahnya adalah AI hanya bekerja dengan baik jika data yang diberikan terstruktur dan terkontrol. Jadi, AI kesulitan mengenali kondisi mental yang tidak biasa atau membutuhkan pengamatan jangka panjang.

Contohnya, AI akan kesulitan mengenali kasus “smiling depression”, di mana seseorang tampak bahagia namun sebenarnya sedang mengalami depresi berat. Psikolog dan psikiater terlatih untuk membaca bahasa tubuh, ekspresi, dan tanda-tanda tidak terucapkan dari pasien. Mereka mampu mengenali bahwa ucapan “enggak apa-apa” bisa jadi tanda bahwa seseorang membutuhkan bantuan.

2. Rentan Halusinasi

AI dirancang untuk selalu merespons, bahkan ketika tidak memiliki basis data yang cukup. Selain itu, AI mengumpulkan pengetahuan berdasarkan rekomendasi algoritme dari mesin pencari yang berbasis engagement pengguna. Dampaknya, AI sering kali memaksakan jawaban yang tidak relevan ketika menjawab topik yang belum sepenuhnya dipahami.

Dalam konteks konsultasi kesehatan mental, hal ini bisa sangat berbahaya. Studi tahun 2025 dalam Journal of Medical Internet Research menemukan bahwa AI rentan berhalusinasi dan bahkan bisa mendorong pengguna untuk melakukan tindakan berbahaya seperti bunuh diri. Ini berbeda dengan psikolog dan psikiater yang terlatih untuk menilai risiko secara mendalam dan memberikan tindakan yang sesuai.

3. Bisa Diskriminatif

AI juga rentan memberikan penilaian tidak adil terhadap ras atau etnis tertentu, terutama ketika data mengenai kelompok minoritas masih minim. Penelitian psikologi cenderung fokus pada orang-orang kulit putih, berpendidikan tinggi, dan tinggal di negara kaya. Akibatnya, AI berisiko memberikan diagnosis yang keliru dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas.

Psikolog dan psikiater memiliki kode etik yang melarang tindakan diskriminatif terhadap pasien. Mereka juga terlatih untuk memberikan respons yang tepat sesuai dengan kondisi pasien.

Konsultasi Kesehatan Mental Harus Dilakukan dengan Profesional

Meski AI bisa digunakan sebagai pelengkap, misalnya untuk membantu merangkum transkrip sesi konsultasi atau mengenalkan teknik dasar terapi, ia tidak bisa menggantikan profesional. Konsultasi kesehatan mental membutuhkan pendekatan yang penuh empati dan penanganan langsung dari praktisi yang berpengalaman.

Interaksi intens dengan AI bisa memperkuat gangguan kecemasan, terutama bagi orang dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD). Oleh karena itu, dalam situasi yang serius seperti trauma, depresi berat, atau pikiran untuk bunuh diri, pendekatan dari psikolog atau psikiater tetap mutlak diperlukan.

Memahami manusia tidak hanya tentang algoritme, tetapi juga membutuhkan keahlian, empati, dan pengalaman klinis. Dengan demikian, AI boleh digunakan sebagai alat bantu, tetapi tidak boleh dianggap sebagai pengganti para ahli kesehatan mental.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini