Nasional Kotak Kosong Menang di Sejumlah Daerah, JPPR Dorong Revisi UU

Kotak Kosong Menang di Sejumlah Daerah, JPPR Dorong Revisi UU

17
0

IndonesiaDiscover –

Kotak Kosong Menang di Sejumlah Daerah, JPPR Dorong Revisi UU
Baliho ajakan pilih kotak kosong di Kabupaten Pangkalpinang.(MI/Rendy)

Wakil Manajer bidang Pendidikan dari Pemilih dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Guslan Batalipu mengatakan fenomena menangnya kotak kosong di bangka dan pangkalpinang merupakan respon kritis pemilih terhadap alternatif calon yang tidak cukup representatif untuk menjawab perubahan dan kebutuhan masyarakat 

“Kesadaran pemilih di wilayah tersebut cukup tinggi perihal memilih pemimpin. Informasi yang kami dapatkan bahwa kesadaran tersebut terasosiasi dan terkonsolidasi dengan baik.  Hal ini memang seharusnya terjadi karena sejatinya masyarakat demokrasi merupakan masyarakat yang cerdas dan rasional,” ujarnya kepada Media Indonesia pada Sabtu (30/11). 

Guslan menjelaskan bahwa penyelenggara dan peserta pemilu harus melakukan perbaikan dan evaluasi menyeluruh untuk menekan tingginya angka calon tunggal di perhelatan elektoral mendatang.  

“Ciri sebuah kompetisi kontestasi pemilu maupun pilkada harus diikuti oleh lebih dari satu kandidat atau paslon. Jadi harus ada evaluasi mulai dari sisi aturan teknis yaitu durasi tahapan pencalonan agar dapat memberikan ruang cukup bagi bakal calon, syarat pencalonan bagi perseorangan pilkada sebaiknya jangan terlalu berat,” imbuhnya. 

Lebih lanjut, Guslan mengatakan bahwa peraturan paslon tunggal ini harus diperjelas dalam Undang-Undang (UU) Pemilu. Menurutnya, jika perhelatan pilkada hanya diikuti oleh satu paslon, seharusnya KPU berhak membatalkan kontestasi tersebut. 

“Penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR selaku institusi yang memiliki fungsi legislasi harusnya merumuskan aturan agar tidak ada lagi dukungan partai politik yang terkonsentrasi pada satu pasangan calon khususnya di pilkada,” katanya. 

Pada padal 54C pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menyatakan bahwa pemilihan pasangan calon kepala daerah dilaksanakan apabila memenuhi kondisi hanya terdapat satu pasangan calon yang memenuhi syarat; terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap tetapi partai politik pengusung tidak mengajukan calon pengganti, atau mengajukan calon pengganti tetapi ternyata tidak memenuhi syarat, sehingga hanya tersisa satu pasangan calon. Pemilihan satu pasang calon juga dimungkinkan apabila terdapat kondisi hanya satu pasangan calon yang mendaftar sejak awal.

Gusla menyebutkan, ada kecenderungan calon tunggal dalam pilkada meningkat. Pada 2015, calon tunggal muncul di tiga daerah dari 169 daerah yang menyelenggarakan pilkada (160 kabupaten/kota dan 9 provinsi). Lalu, pada pilkada serentak tahun 2017, jumlah daerah yang melaksanakan pilkada berkurang menjadi 101 daerah (94 kabupaten/kota dan 7 provinsi), tetapi calon tunggal muncul pada pilkada di 9 daerah. 

Demikian juga pada Pilkada 2018, kemunculan calon tunggal bertambah di 16 daerah dari 171 daerah (154 kabupaten/kota dan 17 provinsi). Pada Pilkada 2020, jumlah daerah yang melaksanakan pilkada dengan calon tunggal bertambah lagi menjadi 25 daerah dari 270 daerah yang menggelar pilkada (261 kabupaten/kota dan 9 provinsi). Sementara itu, ada 37 pasangan calon (paslon) tunggal yang akan menghadapi kotak kosong pada Pilkada Serentak 2024.

Atas dasar itu, JPPR mendorong adanya revisi total Undang-Undang Pilkada, terutama terkait pengaturan agar tidak terjadi pasangan calon tunggal karena unsur kesengajaan parpol. 

Guslan mencontohkan, di Undang- undang Pemilu Pasal 235 Ayat 5, terdapat sanksi bagi partai politik dan atau gabungan partai politik yang cukup 20 % kursi atau 25% suara nasional tetapi tidak mengajukan calon presiden maka tidak ikut pemilu berikutnya.

Selain itu, Guslan mengatakan bahwa jika terjadi kemenangan terhadap kotak kosong, pemerintah akan menunjuk penjabat (Pj) gubernur, bupati atau wali kota untuk memimpin sementara wilayah sampai terpilihnya kepala daerah definitif hasil Pilkada. Hal itu secara rigid disebutkan pada pasal 54 D ayat (4). 

“Hal itu sangat berpotensi kalau melihat konstruksi aturan yang ada. Tentu kami tidak ingin hal ini terjadi, kami mendorong evaluasi dan perbaikan segera dilakukan untuk memitigasi potensi tersebut,” tandasnya. (DEV/P-2)

Tinggalkan Balasan