Nasional Ini Lima Tantangan Pendidikan di Era Pemerintahan Baru

Ini Lima Tantangan Pendidikan di Era Pemerintahan Baru

18
0

IndonesiaDiscover –

Ini Lima Tantangan Pendidikan di Era Pemerintahan Baru
Petugas kesehatan memeriksa kesehatan gigi siswa di SD Negeri 11 Palangka, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (11/9/2024)(ANTARA/AULIYA RAHMAN)

KOORDINATOR Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonensia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan bahwa di sektor pendidikan, ada 5 tantangan utama yang perlu dihadapi oleh pemerintahan baru.

  1. Biaya pendidikan sangat mahal dan tidak terjangkau. Ini dirasakan oleh masyarakat baik di jenjang sekolah dasar dan menengah, maupun perguruan tinggi. Selama 5 tahun terakhir, protes dan pro-kontra akibat gagal PPDB yang mengakibatkan sekolah di swasta yang berbayar mahal dan biaya UKT selalu mewarnai setiap tahun. 

    “Meski dalam peraturan perundangan-undangan sekolah dinyatakan tanpa dipungut biaya, nyatanya hingga Oktober 2024, terdapat 4,2 juta anak Indonesia yang tidak bersekolah. Mereka mayoritas terhambat karena faktor ekonomi. Berdasarkan catatan dan pelaporan yang masuk ke JPPI selama 2014-2024, ada banyak alasan anak mengapa anak tidak/putus sekolah,” ungkapnya, Selasa (22/10).

  2. Mutu sekolah masih sangat memprihatinkan. Jika berkaca pada data PISA sejak 2015-2022, skor Indonesia bukan mengalami kenaikan, tapi konsisten mengalami penurunan. Penurunan skor ini terjadi di semua bidang membaca, matematika, dan sains. 

    Bisa kita bandingkan kondisi pada 2015 dengan kondisi terakhir di 2022. Di 2015, skor mencapai 397, lalu merosot menjadi 359 di 2022. Di bidang matematika, dari 386 menjadi 366. Sedangkan di bidang sains, dari 403 menjadi 383. 

    “Jangankan bersaing di dunia, di level ASEAN saja, Indonesia termasuk 3 negara dengan skor terburuk bersama Filipina dan Kamboja. Sementara Singapura menduduki skor tertinggi di dunia,” kata Ubaid.

  3. Darurat kekerasan di sekolah yang dibiarkan. Meski peraturan pencegahan kekerasan dan satgas telah dibentuk di berbagai daerah hingga di sekolah, ternyata belum mampu menghalau laju tren kekerasan di sekolah. 

    Berdasarkan pemantauan JPPI selama 5 tahun terakhir, tren kekerasan di sekolah ini terus mengalami kenaikan. Bahkan, setiap hari selalu ada laporan kasus kekerasan, bisa terjadi di sekolah, madrasah, pesantren, atau perguruan tinggi.

    Berdasarkan data yang dihimpun JPPI, per September 2024, terjadi 293 kasus kekerasan di sekolah. Jika dilihat dari jumlahnya, terjadi kenaikan tren di tiap tahun. Bahkan, jumlah saat ini sudah melebihi jumlah kasus di 2023, yaitu 285 kasus. 

    Jenis kekerasan didominasi oleh kekerasan seksual, jumlahnya mencapi 42%. Disusul oleh perundungan (31%), kekerasan fisik (10%), kekerasan psikis (11%), dan kebijakan yang mengandung kekerasan (6%).

    “Dalam kasus kekerasan seksual, korban terbanyak adalah Perempuan, mencapai 78%. Sementara korban laki-laki hanya 22%. Namun, jika dilihat dari sisi pelaku, laki-laki sangat dominan yaitu 89%, sedangkan perempuan 11%,” ujarnya.

  4. Pendidikan karakter di sekolah masih jalan di tempat. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, belum ada data yang menunjukkan adanya peningkatan level dalam pendidikan karakter di sekolah. Bahkan ada kecenderungan pola yang sangat buruk yang harus jadi perhatian khusus. 

    “Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2023, indeks integritas pendidikan nasional masih berada di level rendah. Semakin tinggi jenjang pendidikan, integritas yang tercermin dari karakter, ekosistem, dan kepatuhan justru makin rendah. Skor indeks integritas pendidikan mencapai 73,70. Nilai ini menunjukkan indeks integritas pendidikan masih berada di level 2 dari skala tertinggi level 5,” tutur Ubaid.

  5. Maraknya pungli dan korupsi di sekolah. Institusi Pendidikan mestinya harus bersih dari praktik-praktik korupsi. Ironisnya, pengelolaan pendidikan di Indonesia jadi lahan basah tindak pidana korupsi, bahkan tak jarang dilakukan secara berjamaah alias persekongkolan.

    Data ICW menyebutkan, terjadi 424 kasus korupsi sejak 2015 s/d 2023 dengan potensi kerugian negara sebesar Rp916,67 miliar. Hal ini semua terkait dengan kasus pengadaan barang dan jasa di sekolah. 

    “Selain itu, data SPI Pendidikan 2023 juga menunjukkan, sebesar 25% warga sekolah menyatakan tahu calon peserta didik diterima karena memberi imbalan kepada pihak sekolah. Selama PPDB, ditemukan praktik pungutan tidak resmi atau pungutan liar (pungli) masih terjadi di lebih dari 44,86% sekolah dan lebih dari 57,14% perguruan tinggi di Indonesia,” jelasnya.

Berdasarkan fakta dan data di atas, untuk perbaikan kualitas Pendidikan, JPPI memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, jenjang pendidikan yang masuk dalam program wajib belajar, harus dibiayai pemerintah, artinya bebas biaya baik di negeri maupun swasta. 

“Menurut perhitungan JPPI, pemerintah hanya perlu menambah Rp100 triliun, untuk bisa membiayai wajar 12 tahun dengan tanpa dipungut biaya. Dalam struktur anggaran yang sekarang, ini bisa dilakukan dengan realokasi dari anggaran Kementerian/Lembaga lain yang tidak terkait langsung dengan pendidikan. Sementara untuk jenjang pendidikan tinggi, PTNBH harus dikembalikan menjadi PTN. Sebab, PTNBH ini sudah terbukti mempersempit akses, dan memicu UKT naik secara ugal-ugalan,” tegas Ubaid.

“Kedua, jenjang sekolah dasar harus tuntas dan berkualitas. Jenjang ini adalah kunci keberhasilan. Jangan seperti sekarang, kita tidak fokus pada sekolah dasar, akibatnya banyak ditemukan anak SMP tidak bisa baca, bahkan yang bisa baca pun mereka tidak memahami maknanya. Pemerintah harus memastikan no one left behind di jenjang ini. Di jenjang ini, pemerintah harus fokus pada penguatan kemampuan dasar yaitu literasi, numerasi, sains, dan juga pendidikan karakter,” lanjutnya.

Ketiga adalah masalah guru harus diselesaikan, karena jika tidak, peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia hanya akan jadi mimpi di siang bolong. Gonta-ganti kurikulum yang terjadi selama ini, belum memberikan dampak peningkatan kualitas yang signifikan. 

“Jelas ini terjadi karena tidak didukung oleh guru yang kompeten dan bekualitas. Setiap tahun, anggaran pendidikan belum terserap baik. 2023, ditemukan Rp111 triliun tidak terserap. Dari pada sia-sia tidak terserap, lebih baik dimanfaatkan untuk biaya langsung pendidikan. Antara lain, bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan peserta didik, atau peningkatan mutu guru. Sebagai contoh, antrian PPG guru di madrasah memakan waktu yang cukup lama, diperkirakan antriannya mencapai 50 tahun. Karena itu, jangan sia-siakan anggaran pendidikan,” ucap Ubaid.

Ketiga, masalah di hulu yang harus dibenahi dalam perkara buruknya mutu guru. Menurutnya mestinya calon mahasiswa fakultas keguruan/tarbiah, dipilih dan diseleksi secara ketat. 

“Jangan seperti sekarang. Semua bisa masuk fakultas Keguruan, akibatnya lulusannya pun kualitasnya buruk. Lalu, mereka menjadi guru di sekolah. Masalah akan seperti lingkaran setan yang tidak bisa dihentikan. Karena itu, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) harus dibenahi dan diperketat seleksi untuk calon mahasiswa,” urai Ubaid.

Terakhir adalah pertegas tugas utama Satgas dan juga tim pencegahan kekerasan untuk membuat sistem perlindungan anak hingga di level sekolah. Mulai dari sistem deteksi dini, sistem pelaporan, hingga perlindungan saksi dan korban. 

“Selain itu, juga harus ada perubahan mental model yang bermasalah di sekolah terutama mental model patriarki dan mental model feodal. Jadi, urusan pendidikan, tidak bisa diselesaikan oleh pihak sekolah dan pemerintah saja, tapi perlu pelibatan actor yang lebih luas. Karena itu, perbaikan ekosistem sekolah ini harus dilakukan dengan memperkuat “civic space” dan menjadikan sekolah sebagai institusi yang lebih terbuka dan inklusif untuk semua,” pungkasnya. (H-2)

 

Tinggalkan Balasan