Daerah Penyalahgunaan Identitas dalam Perbankan Lebih Mengerikan

Penyalahgunaan Identitas dalam Perbankan Lebih Mengerikan

281
0

Kota Malang, 23 Juli 2024 – Seorang nasabah BRI dengan inisial DAS mendatangi serta berkonsultasi dengan Indonesia Discover terkait problematika uang yang tiba-tiba ditarik oleh sistem senilai Rp 1,2 juta dari rekeningnya. Setelah dilakukan penelusuran, diketahui bahwa DAS memiliki hutang sekitar Rp 50 juta di salah satu bank di NTT. DAS merasa tidak pernah mengambil hutang tersebut dan mengajak tim investigasi Indonesia Discover untuk menelusuri lebih lanjut.

Dalam investigasi yang dilakukan, terungkap bahwa DAS memiliki nomor rekening pinjaman yang dimulai dengan 4662. Pinjaman atas nama DAS diproses di BRI Unit Moru, namun berkas kredit kemudian dilimpahkan ke BRI Unit Binongko menyusul pembagian wilayah dari BRI. Kejanggalan terungkap ketika DAS menyatakan tidak pernah menghadiri proses pencairan Kredit Usaha Rakyat (KUR), namun uang tetap terdebit secara sistem.

“Kami sangat terkejut mengetahui adanya proses pinjaman atas nama saya tanpa sepengetahuan dan persetujuan saya. Ini sangat merugikan saya baik secara finansial maupun psikologis,” ujar DAS dalam keterangannya kepada tim Indonesia Discover.

Persoalan yang menimpa DAS, ini ditanggapi serius oleh Dosen Brawijaya karena menurutnya sangat berbahaya jika penyalahgunaan identitas di saat perkembangan teknologi yang pesat tidak hanya membawa kemudahan, tetapi juga tantangan baru, terutama terkait dengan keamanan data dan identitas pribadi. Salah satu isu yang hangat diperbincangkan saat ini adalah maraknya kredit fiktif yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, mengakibatkan kerugian bagi nasabah dan merusak reputasi perbankan.

Dalam konfirmasi yang dilakukan di Perumahan Ijen Boulevard, Dr. Rosalina Yuri Ang., SE., MSA., Ak., CA., CPA, seorang Akuntan Publik dari Universitas Brawijaya dengan kompetensi dari Kementerian Keuangan, memberikan pandangannya terkait fenomena ini.

“Di era digital ini, kecepatan penyebaran informasi tidak lagi dihitung dalam hari, tetapi dalam hitungan detik. Namun, kecepatan ini juga menjadi pedang bermata dua ketika informasi digunakan untuk tujuan yang merugikan,” ujar Dr. Rosalina. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah penyalahgunaan identitas untuk pengajuan kredit fiktif, yang semakin meresahkan masyarakat.

Meskipun perbankan Indonesia telah mengadopsi sistem pengendalian yang baik dan diawasi oleh berbagai lembaga keuangan pemerintah, kasus kredit fiktif masih saja terjadi. “Berbagai spekulasi tentang lemahnya sistem pengendalian intern perbankan sering menjadi kambing hitam. Namun, perlu diingat bahwa sebuah sistem tidak bisa berjalan sendiri tanpa operatornya. Jadi, perbaikan apapun terhadap sistem pengendalian intern akan sia-sia jika masalah utamanya ada pada operator sebagai pelaksana utamanya,” jelas Dr. Rosalina.

Kredit fiktif tidak hanya merugikan nasabah, tetapi juga merupakan indikasi adanya kejahatan yang lebih besar. Dalam hal ini, perlindungan hukum terhadap nasabah bank yang dirugikan atas penyaluran kredit fiktif diatur dalam berbagai peraturan, seperti UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1365 dan 1367 ayat (2) KUHPerdata, Pasal 2 dan 29 ayat (2) Undang-Undang Perbankan, serta POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. “Ada kewajiban bank sesuai Pasal 1367 ayat (2) KUHPerdata mengenai tanggung jawab majikan terhadap bawahannya dan Pasal 29 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 terkait pertanggungjawaban bank terhadap tindakan kredit fiktif yang dilakukan oleh pegawainya,” tambahnya.

Selain itu, bagi para pelaku yang terlibat dalam kongkalikong atau kejahatan perbankan lainnya, dapat dikenakan hukuman pidana sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyebutkan bahwa pihak yang terbukti melakukan kejahatan perbankan dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 200 miliar. “Hukuman ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku dan memperkuat upaya penegakan hukum di sektor perbankan,” tegas Dr. Rosalina yang mengantongi kompetensi sertifikasi dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI).

Seringkali, ketika terjadi kasus kredit fiktif, sistem yang menjadi kambing hitam. Padahal, praktik ini juga bisa menyeret berbagai pihak eksternal, termasuk OJK yang bertugas untuk mengontrol, mengawasi, dan mengatur aktivitas perbankan. “Pada akhirnya, korban dihadapkan pada pilihan sulit: biaya, waktu, dan tenaga yang diperlukan untuk memproses kerugian seringkali tidak sebanding dengan nilai kerugian itu sendiri. Dengan demikian, meski permasalahan seolah berakhir, ini bukan berarti menjadi sebuah akhir,” tutup Dr. Rosalina yang juga berprofesi sebagai dosen pengajar.

Di akhir wawancara, Dr. Rosalina berharap perlu adanya sinergi antara perbankan, regulator, dan nasabah dalam meningkatkan kesadaran dan pengamanan data pribadi. Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan siber menjadi kunci untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.(Redaksi)

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi [Indonesia Discover](http://www.indonesiadiscover.com).

Artikel ini merupakan Liputan Khusus tim investigasi dari Media Indonesia Discover tentang Kejahatan Perbankan di Bank BRI

Tinggalkan Balasan