Nasional Salju Abadi Puncak Jaya Jelang Kepunahan

Salju Abadi Puncak Jaya Jelang Kepunahan

3
0

InfoMalangRaya –

Salju Abadi Puncak Jaya Jelang Kepunahan

Pemanasan global yang terjadi di seluruh dunia berdampak pada mencairnya “salju abadi” di Puncak Jaya. Luas tutupan es salju menyusut hingga 98% dari semula 19,3 km persegi pada 1850 menjadi 0,34 km persegi pada 2020.

Tutupan es atau “salju abadi” di Puncak Jaya, Pegunungan Cartenz, Papua, atau Dugu-Dugu (demikian masyarakat Papua menyebutnya), terus mencair dari tahun ke tahun. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah beberapa tahun belakangan mengamati perubahan ini dan menyebut kondisi “salju abadi” kian mengkhawatirkan karena terus mengalami pencairan.

BMKG menyebut salju abadi di Puncak Jaya, Papua mengalami penipisan sekira 2,5 meter per tahun dalam rentang waktu tahun 2016–2022. Sementara itu, luas tutupan es salju yang memiliki ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu menyusut hingga 98%. Dari semula 19,3 km persegi pada 1850 menjadi 0,34 km persegi pada 2020. Adapun luas tutupan es di Puncak Jaya pada 2022 sekira 0,23 kilometer persegi.

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG bersama Ohio State University, AS, sejak tahun 2010 telah melakukan studi terkait analisis paleo-klimatologi berdasarkan inti es (ice core) pada gletser Puncak Jaya. Secara berkala BMKG dengan didukung PT Freeport Indonesia kemudian terus melakukan kegiatan pemantauan terhadap luas dan tebal gletser di Puncak Jaya.

Berdasarkan pengamatan melalui foto udara, sampai saat ini tutupan es di Puncak Jaya terus-menerus mengalami pencairan dan terancam lenyap. Pada 2010, tebal es diperkirakan mencapai 32 meter dan laju penipisan es sebesar 1,05 meter per tahun terjadi pada tahun 2010–2015. Kemudian saat terjadi El Nino kuat pada tahun 2015–2016, penipisan es pun mencapai 5 meter per tahun.

Koordinator Bidang Litbang Klimatologi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Donaldi Sukma Permana menyatakan, ketebalan es telah berkurang 12,5 meter pada awal 2021. Ini setara dengan laju penipisan sekitar 2,5 meter per tahun.

“Kami menggunakan pemodelan CORDEX-SEA dan data observasi untuk memprediksi hilangnya tutupan es Papua berdasarkan proyeksi iklim di masa depan. Hasilnya, tutupan es di Puncak Jaya diperkirakan hilang pada 2026,” ujar Donaldi, dalam tulisannya yang dimuat di The Conversation.

Lebih lanjut Pakar Klimatologi BMKG ini mengatakan laju penipisan gletser dapat habis total paling cepat pada 2024. “Risiko ini semakin besar karena El Niño–yang membuat iklim bumi lebih hangat–dapat terjadi pada tahun ini,” katanya menegaskan.

Ketua Tim Studi Dampak Perubahan Iklim pada Gletser di Puncak Jaya ini menambahkan mencairnya lapisan es yang menutupi Puncak Jaya berdampak pada meningkatnya tinggi muka laut secara global.

“Dampak nyata lainnya dari pencairan es di pegunungan ini adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global,” jelasnya.

Sementara Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi di seluruh dunia berdampak pada mencairnya salju abadi di Puncak Jaya. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat, suhu rata-rata global pada awal Juni 2023 telah mencapai 1,5 derajat celsius lebih panas dibandingkan suhu pada masa pra-industri. Rekor suhu rata-rata global terpanas terjadi pada 3 Juli yang mencapai 17,01 derajat celsius.

Diprediksi salju akan lenyap pada 2026. Fenomena El Nino yang terjadi tahun ini berpotensi turut mempercepat kepunahan tutupan es di Puncak Jaya tersebut. Lapisan gletser akan menipis paling cepat pada 2024.

“Ekosistem yang ada di sekitar salju abadi menjadi rentan dan terancam. Perubahan iklim juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat setempat yang telah lama bergantung pada keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tersebut,” ungkap Dwikorita dalam seminar bertajuk “Salju Abadi Menjelang Kepunahan: Dampak Perubahan Iklim?”, Jakarta, Selasa (22/8/2023) dikutip dari siaran pers BMKG.

 

Taman Nasional Lorentz

Puncak Jaya atau dikenal sebagai Piramida Cartenz merupakan puncak Gunung Cartenz, di Papua. Keunikan lapisan salju di daerah tropis, gletzer di Puncak Jaya termasuk dalam kawasan Taman Nasional Lorentz sebuah pusat konservasi sumber daya alam yang dilindungi yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 4645/Menhut-VII/KUH/2014. Dengan luas 2.328.683,31 hektare meliputi 10 kabupaten; Mimika, Paniai, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, Yahukimo, Nduga, dan Kabupaten Asmat menjadikan Taman Nasional Lorentz sebagai taman nasional terluas di Asia Tenggara.

Salju abadi di puncak gunung merupakan fenomena alam yang sangat langka. Selain di Piramida Cartenz, fenomena unik ini hanya dapat ditemui di dua tempat lainnya pada kawasan tropis dunia. Yaitu di Pegunungan Andes, rangkaian pegunungan sepanjang 7.000 kilometer, terpanjang di dunia yang melintasi tujuh negara kawasan Amerika Selatan, dan Gunung Kilimanjaro di Tanzania.

Pusat konservasi Lorentz menjadi habitat bagi 34 tipe vegetasi di antaranya hutan rawa, hutan tepi sungai, hutan sagu, hutan gambut, pantai pasir karang, hutan hujan lahan datar/lereng, hutan hujan pada bukit, hutan kerangas, hutan pegunungan, padang rumput, dan lumut kerak. Adapun beragam jenis flora yang tumbuh di sini antara lain nipah (Nypa fruticans), bakau (Rhizophora apiculata), Pandanus julianettii, Colocasia esculenta, Avicennia marina, Podocarpus pilgeri, dan Nauclea coadunata.

Hal lain yang langka dan unik dari Taman Nasional Lorentz ini adalah tanaman pakis purba (Cyathea atrox) yang berada di vegetasi sub-alpin di ketinggian di atas 3.200 mdpl. Tumbuhan ini diduga sudah ada sejak zaman Silurian dan Devonian di era paleozoik sekira 438 juta tahun lampau. Pakis purba itu tak menempel pada batang pohon atau dinding tebing, melainkan berdiri tegak hingga setinggi 3 meter di area padang rumput dengan memiliki batang besar layaknya pohon, berdiameter 20 sentimeter.

Berdasarkan data Balai Taman Nasional Lorentz tercatat sebanyak 630 satwa spesies burung di sini, misalkan kasuari (2 jenis), megapoda (4 jenis), merpati (31 jenis), kakatua (30 jenis), dan burung udang (13 jenis). Selain itu, terdapat pula burung madu (29 jenis), dan 20 jenis endemik di antaranya cendrawasih ekor panjang (Paradigalla caruneulata) dan puyuh salju (Anurophasis monorthonyx).

Satwa mamalia tercatat antara lain babi duri moncong panjang (Zaglossus bruijnii), babi duri moncong pendek (Tachyglossus aculeatus), empat jenis kuskus, walabi, kucing hutan. Ada pula kanguru pohon bulu hitam-putih (Dendrolagus mbaiso) dan kanguru pohon bulu emas (Dendrolagus dorianus). Dendrolagus mbaiso bahkan ditetapkan dalam Daftar Merah Dewan Konservasi Alam Internasional (IUCN) sebagai satwa hampir punah.

Kawasan Taman Nasional Lorentz dihuni sembilan kelompok suku pedalaman di antaranya Suku Asmat, Dani, Dani Barat atau Lani, Amungme, Sempan dan Moni. Kebaradaan suku-suku asli ini diperkirakan telah berumur 30 ribu tahun.

Taman Nasional Lorentz yang berada di pertemuan dua lempeng benua, Australia dan Pasifik, telah menciptakan sebuah morfologi kawasan menakjubkan yang dikenal sebagai Pegunungan Tengah. Dinding-dinding tebing curam serta cekungan-cekungan membentuk danau-danau, seperti pegunungan vegetasi alpin menciptakan keunikan kawasan ini.

Kawasan pesisir Pantai Taman Nasional Lorentz di Laut Arafura dipenuhi ribuan hektare hutan mangrove yang masih terjaga keasriannya dan habitat jutaan ikan serta sebagai sumber penghidupan masyarakat sekitar.

 

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Demi menjaga kelestarian pegunungan Cartenz semua pihak perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga dan melindungi lingkungan. Dwikorita menekankan perlu upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bersama, baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta dan pihak terkait lainnya. Pengurangan emisi gas rumah kaca dan penerapan energi baru dan/atau terbarukan menjadi langkah penting yang harus segera dilakukan.

“Kita perlu terus menjaga dan mengendalikan laju kenaikan suhu dengan cara mentransformasikan energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan. Dalam Dialog untuk Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional di BAPPENAS pada 21 Agustus 2023, BMKG merekomendasikan pula perlunya program yang lebih sistematis dan berkelanjutan untuk observasi/pemantauan terhadap parameter lingkungan,” katanya.

Program observasi/monitoring tersebut, menurut Dwikorita, sangat penting guna menghasilkan analisis dan kesimpulan yang tepat, termasuk pula untuk memberikan peringatan dini secara cepat, tepat dan akurat. Dengan dukungan ini, BMKG tidak hanya berperan sebagai penyedia data, bahkan sudah menjadi tugas operasional BMKG selama ini melakukan analisis, prediksi, peringatan dini dan memberikan rekomendasi berdasarkan data dan informasi yang dibutuhkan berbagai sektor.

 

Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari


Source link

Tinggalkan Balasan