Nasional Solusi Hukum Ketenagakerjaan Pasca-Demo Buruh di Bekasi

Solusi Hukum Ketenagakerjaan Pasca-Demo Buruh di Bekasi

6
0



Penulis, Alumnus FH UNPAR, Mantan Praktisi SDM, dan Pemegang 7 Rekor MURI (peraih gelar akademik & sertifikasi pendidikan terbanyak di Indonesia).


Pascademo pekerja yang berkepanjangan semenjak Oktober 2024, PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA) yang berlokasi di Kawasan Industri MM2100, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, menyatakan mengalami kerugian mencapai Rp 50 miliar akibat kerap kali terhambatnya akses jalan keluar-masuk pabrik oleh massa pendemo.


Kasus unjuk rasa buruh sendiri dipicu oleh kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 2 orang pekerja, yang merupakan ketua dan sekretaris Pimpinan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (SPEE), pasca ketidaksepakatan dalam perundingan penyesuaian remunerasi yang berlanjut ke proses mediasi dan tripartit. Namun saat mediasi  (pendampingan) berjalan, pihak karyawan justru menggelar aksi-aksi yang menganggu operasional perusahaan. Kiwari, buruh pun menuntut pencabutan surat peringatan terhadap anggota serikat, pengembalian potongan upah yang dinilai sepihak, dan realisasi kenaikan upah 2025 yang belum disepakati.


Di sisi lain, menurut manajemen PT YMMA, PHK dilakukan sesuai  dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) disertai pelaporan ke pihak kepolisian atas dugaan pelanggaran hukum. Hal ini tengah berproses lebih lanjut di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), di mana tentunya para pihak yang berperkara wajib menghormati proses hukum yang tengah berjalan.


Pada prinsipnya, industri memang tidak diperkenankan untuk melakukan PHK secara sepihak, melainkan harus melewati perundingan terlebih dahulu. Bilamana negosiasi tersebut belum menghasilkan kesepakatan, maka industri hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial.


Rugi Bersama


Tentunya patut disadari oleh para pihak yang berkepentingan, bilamana hal ini terus berlangsung, maka semua pihak bakal mengalami kerugian, di mana korporasi bilamana terhambat dalam proses produksi, maka akan ditinggalkan oleh pelanggan dan para pemasok, termasuk potensi denda akibat delay produksi,  sehingga tentunya berimbas terhadap pendapatan perusahaan yang antara lain bakal dipergunakan untuk membayar gaji dan kesejahteraan pekerja.


Demo memang merupakan hak pekerja, namun bilamana sampai menurutp akses jalan dan menganggu produksi, tentunya merugikan semua pihak, termasuk para pekerja yang tidak mengikuti demo bahkan terhadap para pencari kerja yang tengah menempuh proses seleksi di Perusahaan.


Buruh pun tentunya wajar mengalami penyesuaian pendapatan namun tentunya sesuai dengan kemampuan unit usaha. Bagaimana bilamana upah diminta naik namun kemampuan perusahaan tidak ada atau hanya dapat bertahan beberapa bulan, tentu dampak dirumahkan dan/atau PHK massal tak dapat dihindarkan. Hal ini tentunya dapat semakin menambah akumulasi orang yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta berimbas terhadap keluarga dan masyarakat. Pemerintah pun tentunya bakal kena dampak akibat tutupnya pabrik.


Kita tak boleh lupa atas kasus tutupnya PT Yihong Novatex yang berlokasi di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, beberapa waktu lalu, di mana 1126 buruh dirumahkan pasca berlangsungnya demo buruh 1-3 Maret 2025, yang memprotes dan menuntut kejelasan atas di PHK-nya tiga orang pekerja perusahaan alas kaki tersebut. Namun di waktu berikutnya, buruh menuntut untuk dipekerjakan kembali, di mana tercatat sekitar 200 mantan pekerja secara bertahap telah dapat diterima kembali bekerja oleh korporasi dimaksud.


Akibat aksi unjuk rasa dimaksud, manajemen perusahaan asal Tiongkok itu, menyatakan, korporasi mengalami kerugian besar, akibat pembeli membatalkan pesanannya sehubungan industri tersebut tidak dapat memenuhi target pesanan (delivery) sesuai waktu yang dijanjikan, sehingga berefek terhadap likuiditas perusahaan, sehingga memaksa ditempuh tindakan di atas.


Dalam dunia bisnis, sudah lazim dibuat kontrak atau perjanjian tertulis, yang memuat syarat, hak, dan kewajiban antara produsen dan buyer, termasuk sanksi bilamana salah satu pihak melakukan wanprestasi terhadap isi kesepakatan yang telah tersurat. Hal inilah yang patut disadari oleh semua pemangku kepentingan terkait di bidang ketenagakerjaan. Kejadian ini tentu akan memengaruhi indeks kemudahan berusaha di Indonesia, suatu upaya yang tengah dan terus diperjuangkan oleh pemerintah agar negara kita “ramah” terhadap investor asing, sehingga pemodal mau terus menanamkan modalnya di tanah air, di mana tentunya akan membuka lapangan kerja baru dan mengairahkan “roda” perekonomian nasional.


Tentu di masa sulit seperti saat ini, upaya musyawarah-mufakat secara bipartit ataupun tripartit dengan melibatkan pemerintah daerah setempat c.q. instansi ketenagakerjaan, merupakan langkah yang bijak sesuai Hubungan Industrial Pancasila (HIP), ketimbang melakukan aksi demo, di mana hal ini pada dasarnya telah diatur dalam regulasi hukum ketenagakerjaan.


Diperlukan upaya konstruktif dan “win-win solution” guna penyelesaian proses PHK antara pengusaha dengan pekerja melalui supervisi dari dinas-instansi ketenagakerjaan setempat.***




Disclaimer:

Kolom adalah komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Tulisan ini bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini