BEBERAPA tahun ini, upaya pemberantasan korupsi kian mengalami stagnasi bahkan menuju kemunduran. Hal ini tidak lepas dari adanya pelemahan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan oleh para politisi dan pejabat negara.
Direktur Indonesia untuk Australia-Indonesia Center, Kevin Evans mengatakan bahwa Corruption Perceptions Index (CPI) atau indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada lima tahun terakhir menjadi sorotan banyak pihak lantaran kian.
Kevin menilai, pada periode kedua Joko Widodo, terjadi kondisi penurunan indeks korupsi yang sangat signifikan. Hal ini secara terukur terjadi usai Pemilu 2019 hingga 2023, di mana data menunjukkan berturut-turut, CPI Indonesia berada di angka 4,8; 3,7; 3,8; 3,4 dan 3,4. Nilai ini menurutnya sangat menyedihkan.
“Lima tahun terakhir ini, pemerintah (Joko Widodo) sebelumnya 5 tahun pertama masih ada perkembangan. Tapi yang bikin saya kaget setelah pemilu 2019 something happens di Indonesia. UU KPK berani diubah, pimpinan KPK termasuk orang yang memang cacat,” ujarnya pada Orasi Kebangsaan bertajuk ‘Perjalanan, Tantangan, dan Harapan Pemberantasan Korupsi di Indonesia’ di Jakarta pada Kamis (5/12).
Lebih lanjut, Kevin menilai bahwa mentalitas pejabat pemerintah dalam memerangi korupsi pada periode tersebut telah gagal bahkan terbilang mundur hingga satu dekade lalu.
“Hasilnya seperti ini, mundur sejak 10 tahun (terakhir). Ini sangat menyedihkan. Apa yang dihasilkan dengan mentalitas yang mau dilegowokan dengan praktik tersebut?” tuturnya.
Atas dasar itu, ia menilai Indonesia perlu mencari format dan sistem terbaik mengenai pemberantasan korupsi di tengah era keterbukaan informasi saat ini.
“(Indonesia) harus mencari bentuk memberantas korupsi. Masyarakat sekarang sangat peka. Kalau dulu mereka tahu ada korupsi tapi disembunyikan. Tapi sekarang di mana-mana diungkapkan, karena di berita mereka bisa lihat, kalau dulu kan tidak,” katanya.
Ia pun menilai mentalitas pemerintah dalam memerangi korupsi dalam periode tersebut telah gagal.
“Hasilnya seperti ini, mundur sejak 10 tahun (terakhir). Ini sangat menyedihkan. Apa yang dihasilkan dengan mentalitas yang mau dilegowokan dengan praktik tersebut?” tegasnya.
Menurut Kevin, setiap lembaga seharusnya memperbaiki sistem dengan memperkuat kepastian hukum bukan justru memperberat kapasitas hukum dalam unsur pidana. Menurutnya, korupsi hanya bisa ditangani bisa seseorang sadar bahwa kepastian hukum itu ada dan berjalan.
“Bukan keberatan hukum yang harus diperkuat, tapi justru kepastian hukum yang dapat mencegah korupsi itu yang harus diperhatikan, karena itu lah yang akan berdampak pada perilaku, supaya pejabat paham mengenai kepastian konsekuensi hukum,” jelasnya.
Tantangan global
Sementara itu, Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indostrategi, Ahmad Khoirul Umam menjelaskan bahwa pemberantasan anti korupsi bukan hanya menjadi tantangan Indonesia namun global. Dipaparkan bahwa secara praktis data, rata-rata sebagai besar negara mengalami stagnasi indeks persepsi korupsi.
“Rata-rata indeks persepsi korupsi berbagai negara di dunia berada di angk 43 dari skor 100 yang ditetapkan oleh Transparency International. Maka memang itu berada di bawah rata-rata, artinya situasi per hari ini praktis ada 125 negara yang mengalami penurunan yang cukup serius.”
Pada kesempatan yang sama, Cendekiawan Muslim Muhammadiyah, Sukidi Mulyadi menekankan pentingnya bagi pejabat dan masyarakat untuk kembali memulihkan moralitas bangsa yang kini dinilai telah roboh. Menurutnya, moralitas adalah fondasi bagi jiwa bangsa untuk menghindarkan jiwa dari korupsi.
“Bangsa ini telah tumbuh menjadi satu bangsa tanpa jiwa. Nation without soul karena itu, kita sebagai masyarakat harus kembali menyalakan lentera moral di tengah kegelapan bangsa. Sebab suatu bangsa tanpa karakter akan terjadi kerobohan batas-batas moral antara yang baik dan buruk serta antara yang benar dan salah,” ujarnya.
Sukidi juga menyoroti, praktik nepotisme yang semakin dianggap wajar dan diterima sebagai suatu yang biasa oleh publik, padahal itu merupakan ancaman besar bagi keutuhan bangsa.
“Hari ini nepotisme dirayakan dan diajarkan, inilah batas-batas moral yang roboh. Oleh karena itu, kita mestinya terpanggil untuk menghidupkan kembali cahaya kebenaran bahwa nepotisme adalah kejahatan bangsa dan kita tidak akan pernah maju di atas pondasi nepotisme itu sendiri,” katanya.
Pada orasi kebangsaan itu, ia mengkritik pemimpin yang mengabaikan etika demokrasi dan melakukan intervensi terhadap lembaga negara. Lebih lanjut, ia juga mengajak para pejabat untuk menahan diri dari politik cawe-cawe terhadap tatanan instutusi negara.
“Politik cawe-cawe merusak tatanan demokrasi, karena itu saya mengajak terutama kepada pemimpin untuk punya kemampuan menahan diri agar tidak melakukan intervensi terhadap berbagai lembaga yang telah kita dirikan dan menjunjung bersama sebagai satu pedoman kita dalam berdemokrasi,”
Pada kesempatan itu, Sukidi mencontohkan persoalan ini seperti sejarah tentang Ketua Partai Nazi, Hitler naik ke yang puncak kekuasaan dengan legitimasi demokrasi namun justru merusak demokrasi itu sendiri. Sehingga, lanjut dia, demokrasi dapat bertahan jika didukung norma-norma moral yang kuat.
“Hitler terjadi di mana-mana khususnya pada bangsa Indonesia, ada tokoh yang naik secara konstitusional, tetapi pada akhirnya merusak konstitusi. Kita mestinya terpanggil untuk merawat konstitusi ini dari permainan kasar konstitusional agar tidak melegitimasi konstitusi untuk praktik nepotisme,” pungkasnya. (Dev/M-3)