Uncategorized Perbedaan Perspektif Hidup, Antara Jaman Dulu dan Jaman Sekarang

Perbedaan Perspektif Hidup, Antara Jaman Dulu dan Jaman Sekarang

48
0

Menjelang siang hari Kang Pardi sudah keluar rumah, berencana mampir ke warhng kopi dulu sebelum melanjutkan perjalanannya untuk menemui seseorang. Kang Pardi Sudah berjanji pada orang tersebut bahwa Kang Pardi lah yang akan datang untuk sowan ke rumahnya. Karena Kang Pardi juga punya rencana lain untuk bertemu temannya dalam rangka menawarkan suatu barang.

Kang Pardi masuk ke warung yang biasa jadi langganannya. Tak disangka sudah ada beberapa orang yang sudah memsan kopi disitu.

“Lha ini Kang Pardi muncul, alhamdulillah Kang njenengan tetjba saja datang kesini. Karena kami sedang ngobrolin tentang fenomena kondisi masyarakat seperti kami-kami ini” kata Suhardi memulaipembicaraan oada Kang Pardi sambil berdiri menyambut Kang Pardi dan bersalaman.

Suhardi sedang berdua sama Joni dan mereka sedang diskusi tentang apa saja yang nereka anggap aneh dikingkungan yang mereka hadapi.

“Ada apa ? Saya gak bisa berlama-lama lho, karena sudah ada janjian mau nemuin teman ke rumahnya dan nenuin teman yang lain lagi hntjk masalah kerjaan” jawab Kang Pardi menjelaskan pada mereka.
Kang Pardi takut terjebak pada obrolan panjang yang bisa saja ketika belum selesai dan ketika Kang Pardi pamitan, mereka akan merasa kecewa. Karenanya demi menjaga perasaan mereka, maka Kang Pardi berusaha menjelaskan waktu kesibukannya.

“Iya Kang, gak apa-apa, silahkan kalo nanti njenengan selesaiminum kopi langsung melanjutkan rencana njenengan, kami cjma pingin nanya sedikit saja koq Kang, barangkali njenengan ada pemikiran yang bisa membuat kami lebih bisa memahami apa yang sedang kami gelisah kan” Ucap Suhardi yang di angguki oleh Joni sebagai tanda kesepakatan temannya tersebut.

“Ouwh nggih kalo gitu, memang ada apa sih koq seprtinya lagi serius begitu ?” Tanya Kang Pardi

“Tidak koq Kang, tidak seserius yang njenengan bayangkan, kami cuma sedikit gekisah saja dsngan apa yang kami lihat dan rasakan saat ini” terang Suhardi.

“Kang apa sih yang membedakan antara orang jaman sekarang dari era modern sampai sejarang yang disebut milenial dengan jaman dulu sebelum disebut modern untuk masyarakat kita sendiri ya Kang ?”

“Koq saya seringkali melihat orang jaman dulu, anggaplah dijaman modern ajah deh ya, ditahun 70an saja, di desa-desa itu umumnya hidupnya ayem gak rebyek gegeran masalah rebutan warisan dan ini itu, bahkan ya kang, ada nenek dari teman saya itu sebenarnya cukup kaya banget karena tanah dan ternak sapinya cukup banyak sekali. Tapi hidupnya itu sangat sederhana, kesehariannya itu ya seprti tetangganya yang hidupnya pas-pasan”

“Bedanya itu ya paling cuma bangunan rumah dan fasilitas didalamnya ajah, selebihnya dari gaya hidup dan keseharian sama ajah.
Lha sementara saat ini tuh Kang, kasus gegeran rebutan hak waris ada dimana-mana. Saling telikung untuk memperkaya diri hampir ada di setiap ruang. Saling iri antar tetangga yang memang sangat menyedihkan perbedaan kaya dan miskinnya”

“Yang kaya sangat mentereng dengan mobil dll yang menyolok mata. Sementara yang miskin, benar-benar tak mampu untuk sekedar bisa menyekolahkan anaknya saja. Dan yang bikin orang miskin itu marah, para orang kaya ini kerjanya cuma nasehatin doang tanpa pernah mau memberi. Tak jarang untuk tidak mau memberi mereka pakai alasan dengan narasi yang bijaksana

Kita harus mendidik mereka untuk tetap berkarya, tidak boleh membuat mereka jadi ketergantungan pada kita

“Padahal lho, memberi sekali saja, mereka belum pernah, eeehh lha koq sudah bilang tidak boleh ketergantungan pada kita.
Ediaaann tenan koq orang-orang itu” Tanya Suhardi panjang lebar dengan mimik yang berubah-ubah ketika bicara. Terkadang miliknya terlihat serius, lalu terkesan sambil merenung dan di akhir pertanyaan itu tampak Suhardi tersenyum kecut ketika menceritakan realitas perilaku orang kaya yang dia saksikan sendiri.

“Kalau pendapatku begini Cak Hardi nggih.
Orang Nusantara zaman dulu itu lebih banyak bicara tentang Ajaran(Ruhani) bukan Agama(Material) dalam forum diskusi dan kajiannya (obrolan saat rehat kerja atau saat nongkrong bareng malam hari) mereka selalu membahas tentang Hakekat akan segala sesuatu dalam persoalan dinamika kehidupannya. Persoalan keluarga bertetangga, bersosial dan semua persoalan interaksi sosial, mereka selalu membahas dengan mencari esensinya atau hakikatnya. Sehingga itu berdampak pada perspektif dan semangat hidup mereka”

“Itulah kenapa para penganutnyapun atau masyarakat umumnya saat itu menjadi sangat militan. Tidak ada kasak kusuk yang ribet pembacaan perjalanan hidup hanya dilihat dari sisi syariat saja, apalagi memandang syariatnya hanya dengan perspektif hitam-putih atau pokoknya salah atau bener. Karena dari pengalaman hidup dalam perjlanannya, mereka akan faham sendiri dengan latar belakang pemikiran tentang Adab, Toto Kromo, Sopan Santun dan akhirnya tentang ke-ideal-an, hakikat ke idealan yang ternyata di dalamnya harus ada tepo sliro, saling menghargai, menghormati, memahami dan mengerti, orang sekarang menyebutnya lapang dada makna terdalamnya”

“Mereka tidak membaca Syariat dari Kacamata Hitam-Putih atau Salah dan Benar dalam kungkungan logika hukum semata. Mereka di biasakan dan akhirnya terbiasa dengan Ngudhar Roso sehingga terciptalah nilai-nilai luhur untuk menjadi manusia paripurna (Humanisme dan Toleransi)”

“Falsafah Hidup dan kehidupan juga nilai-nilai luhur sudah menjadi pakaian keseharian mereka. sehingga dari sana muncullah suasana lingkungan sosial dan alam yang Ayem Tentrem Kreto Raharjo”

“Pikiran mereka jauh dari sifat materialisme yang pikirannya serba takut gak bisa hidup tanpa materi, apalagi dengan sufat kapitalisme yang cenderung pada hidup yang serakah dan keserakahan, yang akhirnya dsri kedua sifat tersebut menjadikan manusia bersemangat kolonialisme, selalu berusaha menjajah orang lain untuk mencari keuntungan dirinya sendiri”

“Dari kondisi-kondisi seperti inilah terlahir Falsafah-falsafah hidup yang sangat bijaksana, yang berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan sosialnya”

“Falsafah-falsafah lelaku atau yang umum saat ini disebut Nyufi seperti
*Urip mung sak dermo mampir Ngombe* dan lain sebagainya”

“Jika kita mendidik anak-anak kita dsri kecil dengan pemahaman tentang esensi atau hakikat, maka kita akan mendapati anak-anak masa depan yang tidak haus materi hingga menimbulkan peperangan, sehingga akan tercipta kehidupan yang adem ayem, tentrem. Begitulah kira-kira pandangan saya tentang perbedaan kehidupan masa lalu dengan masa sekarang ini. Perbedaannya cuma pada perspektif hidup yang akhirnya membangkitkan semangat tertentu sesuai menyesuaikan sudut pandangnya. Tidak ada yang lain selain itu. Kalau teknologi itu kan diluar ruang hasrat liar dan hati manusia. Teknologi atau peradaban itu hanyalah bagian dari cara manusia menyiasati kehidupan yang berkaitan dengan fisiknya saja”

“Segitu dulu ajah nggih Cak Hardi, nanti kita sambung lagi deh, sambil kita cari waktu yang lebih luang dan tempat ngopi yang nyaman tidak terganggu oleh kebisingan yang lain. Ouwh iya kan nanti bisa kita rencanakan dolan kemana gitu sambil bawa bekal. Sehingga kita bebas dan fokus seharian ngobrol tentang apa saja. Kan saya juga butuh bercerita, okey ya saya pamit dulu ajah sekarang, assalamualaykum” Tutup Kang Pardi sambil berdiri dan bersiap melangkah keluar dari warung Mbak Darmi.

Siang hari ini cukup terik rasanya diluar dan orang-orang masih terus bergerak dalam mengais rejeki, seolah terik yang lumayan menyengat itu adalah rintangan bagi cobaan mereka dalam mengais rejeki demi keluarganya.

Nashir Ngeblues

Tinggalkan Balasan