
Perdebatan Pajak Penghasilan Anggota DPR dan Perspektif Ekonom
Isu mengenai pajak penghasilan (PPh Pasal 21) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disebut ditanggung negara kini menjadi sorotan publik. Berbagai pihak menilai hal ini tidak adil, terutama di tengah situasi ekonomi masyarakat yang sedang sulit. Sejumlah ahli ekonomi mencoba menjelaskan permasalahan ini dari berbagai sudut pandang.
Wijayanto Samirin, ekonom dari Universitas Paramadina, menyatakan bahwa aturan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 262 Tahun 2010 memaksa seluruh pejabat negara, termasuk anggota DPR, untuk membayar pajak penghasilan. Namun, beberapa instansi memberikan kebijakan tambahan dalam bentuk tunjangan pembayaran PPh.
“Kesannya memang seperti dibayarkan oleh negara, tetapi sesungguhnya ini hanya kantong kiri dan kantong kanan saja bagi pemerintah,” ujar Wijayanto.
Menurutnya, sistem ini justru memastikan kepatuhan pembayaran pajak sekaligus lebih sederhana. Misalnya, jika pendapatan sebesar 100 tetapi harus membayar pajak 20, maka itu sama saja dengan pendapatan 80 tanpa perlu membayar pajak karena pajak sudah dibayarkan oleh instansi sebesar 20.
Namun, masalah muncul ketika kebijakan wajar tersebut disampaikan secara salah, sehingga memicu protes masyarakat. Hal ini diperparah dengan kenaikan tunjangan anggota DPR yang dianggap terlalu besar.
Sumber Pemotongan Pajak dari APBN dan APBD
Dari sisi keadilan, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), menjelaskan bahwa secara nominal gaji anggota DPR dipotong pajak yang berasal dari APBN dan APBD.
“Mereka sebenarnya dipotong pajak, namun karena sama-sama dari uang negara, jatuhnya memang ditanggung pemerintah,” ujar Huda.
Ia menekankan bahwa penghapusan fasilitas PPh 21 DTP tidak akan menghemat APBN karena ini hanya memindahkan pos anggaran yang kembali ke kas negara. Yang lebih penting adalah transparansi dalam pembayaran pajak.
“Sebagai individu yang mampu, anggota DPR seharusnya mengurus pajaknya secara mandiri agar terlihat transparan seperti wajib pajak lainnya,” katanya.
Praktik Pajak di Luar Negeri
Fenomena ini juga dibandingkan dengan praktik internasional. Syafruddin Karimi, ekonom dari Universitas Andalas, menekankan bahwa di banyak negara demokrasi, pejabat publik membayar pajak secara mandiri dari gaji bruto. Contohnya, di Amerika Serikat, Internal Revenue Service (IRS) memotong PPh anggota Kongres.
Di Inggris, HM Revenue and Customs memotong pajak anggota parlemen dan praktik transparansi diperkuat setelah skandal belanja 2009 melalui publikasi slip gaji dan audit. Begitu pula di Australia, anggota parlemen menerima gaji bruto langsung dikenai pajak tanpa fasilitas khusus.
“Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa transparansi fiskal bukan sekadar administrasi, tetapi juga simbol keadilan di hadapan publik,” kata Syafruddin.
Ia menambahkan, jika DPR tetap mempertahankan tunjangan PPh 21, citra ketidakadilan fiskal akan terus melekat di mata masyarakat. Wakil rakyat terlihat menikmati gaji bersih sementara masyarakat harus menanggung pajak penuh.