Nasional Nasib Lobi Dagang RI dan Jepang dengan AS Jelang Deadline 9 Juli...

Nasib Lobi Dagang RI dan Jepang dengan AS Jelang Deadline 9 Juli 2025

2
0


Indonesia Discover

, JAKARTA – Sejumlah negara masih dalam proses
negosiasi
dagang
dengan Pemerintah
Amerika Serikat
(AS) jelang tenggat pada 9 Juli 2025.

Presiden AS Donald Trump sebelumnya telah mengancam akan menetapkan tarif baru bagi negara-negara yang gagal mencapai kesepakatan dagang dengan AS sebelum tenggat pekan depan. Langkah ini akan semakin meningkatkan tekanan terhadap mitra dagang yang tengah berpacu merampungkan perjanjian dengan pemerintahannya.

AS pertama kali mengumumkan rencana penerapan tarif timbal balik yang lebih tinggi pada 2 April 2025, namun memberikan jeda 90 hari guna memberi ruang bagi negosiasi. Selama periode itu, tarif universal sebesar 10% diberlakukan.

Terbaru, Trump menyatakan pemerintahannya kemungkinan mulai mengirimkan surat ketetapan tarif impor sepihak kepada negara-negara mitra dagang mulai Jumat (4/7/2025). Ketetapan sepihak ini lebih cepat dibandingkan tenggat negosiasi pada 9 Juli mendatang.

“Kami mungkin akan mulai mengirim beberapa surat, mungkin 10 surat per hari ke berbagai negara, memberitahukan berapa tarif yang harus mereka bayar untuk bisa berbisnis dengan AS,” ujar Trump dikutip dari Bloomberg, Jumat (4/7/2025).

Saat ditanya apakah akan ada kesepakatan dagang tambahan, Trump menjawab, “Kami punya beberapa kesepakatan lain, tetapi kecenderungan saya adalah mengirim surat dan memberitahu berapa tarif yang harus mereka bayar. Itu jauh lebih mudah.”

Lalu, bagaimana perkembangan terakhir proses negosiasi sejumlah negara dengan AS menjelang deadline 9 Juli 2025? Berikut rangkumannya:

Indonesia

Pemerintah Indonesia saat ini masih menunggu keputusan final dari AS terkait dengan tarif usai proses negosiasi.

Untuk melobi AS, Indonesia pun siap memborong alat utama sistem persenjataan atau alutsista dan pesawat AS, sebagai bagian dari paket kesepakatan dagang komprehensif yang tengah dirundingkan kedua negara.

Dilansir dari Bloomberg, Jumat (4/7/2025), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan komitmen Indonesia untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dengan AS. Pada tahun lalu, USTR mencatat defisit perdagangan barang AS dengan Indonesia mencapai US$17,9 miliar.

Oleh sebab itu, Indonesia akan melakukan impor sejumlah barang dari AS. Upaya tersebut dinilai sebagai langkah strategis untuk menekan ancaman tarif sebesar 32% yang akan diberlakukan AS, dengan target memperoleh tarif yang lebih rendah dibandingkan Vietnam yang sebelumnya mendapatkan tarif 20%.

Misalnya, PT Garuda Indonesia tengah menjajaki potensi kerja sama baru, termasuk pembelian pesawat dan layanan perawatan. Pada sektor pertahanan, Airlangga mengungkapkan pemerintah membuka peluang untuk memperluas pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari AS.

“Ini untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai mitra strategis di kawasan Indo-Pasifik,” ungkapnya dalam pernyataan resmi.

Selain itu, sambung Airlangga, Indonesia juga akan meningkatkan impor gas dan produk pertanian dari AS untuk memperkuat ketahanan energi dan pangan.

Pemerintah turut menjanjikan perlakuan yang lebih adil bagi perusahaan AS, melalui pelonggaran aturan kandungan lokal, peningkatan perlindungan hak kekayaan intelektual, dan membuka akses ke Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) bagi penyedia asal AS.

Dari sektor mineral kritis, pemerintah berencana memberikan akses prioritas bagi pembeli asal AS, memperketat pengawasan kepemilikan asing di rantai pasok, serta menjalin kerja sama untuk menjamin keamanan dan transparansi pasokan bagi industri utama AS.

Langkah itu dinilai akan memudahkan perusahaan AS menghindari ketergantungan pada perusahaan logam yang terafiliasi dengan China, mengingat Indonesia merupakan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia.

Indonesia juga berkomitmen untuk menerapkan tarif mendekati nol terhadap lebih dari 1.700 komoditas asal AS, atau sekitar 70% dari total impor negeri Paman Sam. Airlangga mengungkapkan itu mencakup sektor-sektor utama yang diminta AS seperti elektronik, mesin, kimia, kesehatan, baja, pertanian, dan otomotif.

“Pesannya jelas, Indonesia ingin membangun hubungan ekonomi yang seimbang dan berorientasi ke depan, dengan manfaat nyata bagi dunia usaha dan pekerja di kedua negara,” jelasnya.

Jepang

Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba membantah anggapan bahwa negosiasi dagang dengan Amerika Serikat (AS) mengalami kebuntuan, menjelang tenggat pemberlakuan tarif impor sebesar 24% secara menyeluruh pada 9 Juli mendatang.

“Pembicaraan terus bergerak maju, perlahan tapi pasti. Ada berbagai isu yang dibahas, termasuk hambatan non-tarif, dan masing-masing poin tersebut sedang dinegosiasikan secara bertahap,” ujar Ishiba dalam wawancara televisi dikutip dari Bloomberg pada Jumat (4/7/2025).

Ishiba tampak berupaya meredam kekhawatiran bahwa Jepang tidak mampu memperoleh konsesi besar dari AS, dan dapat menjadi sasaran keputusan sepihak Washington untuk memberlakukan tarif setinggi 35%. Meski demikian, dia tidak memberikan indikasi bahwa kesepakatan bisa segera dicapai sebelum tenggat tarif timbal balik diberlakukan pekan depan.

Pernyataan Ishiba juga berseberangan dengan komentar Menteri Keuangan AS Scott Bessent yang sebelumnya menyebut bahwa pemilu majelis tinggi Jepang pada 20 Juli menjadi kendala domestik yang membatasi ruang manuver Tokyo untuk menyelesaikan kesepakatan. Komentar Bessent juga muncul setelah rentetan kritik Presiden Donald Trump terhadap Jepang dalam beberapa hari terakhir.

Pemilu majelis tinggi Jepang yang dijadwalkan pada 20 Juli akan menjadi ajang evaluasi publik terhadap kinerja pemerintahan minoritas Ishiba. Survei menunjukkan inflasi menjadi kekhawatiran utama pemilih, dan kesepakatan dagang yang dinilai terlalu menguntungkan Trump bisa menuai resistensi di dalam negeri.

Salah satu kekhawatiran utama Jepang adalah potensi tarif sektoral sebesar 25% terhadap industri otomotif, sektor andalan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja di Negeri Sakura.

Negosiator Jepang bersikukuh bahwa isu tarif mobil harus menjadi bagian integral dari kesepakatan, sembari menekankan kontribusi industri tersebut terhadap investasi dan penciptaan lapangan kerja di AS.

Korea Selatan

Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung mengakui pembicaraan dagang antara Seoul dan Washington masih belum menunjukkan tanda-tanda akan membuahkan kesepakatan.

Hal tersebut dia ungkapkan menjelang tenggat pada 9 Juli 2025 yang akan mengesahkan pemberlakuan tarif tinggi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Dalam konferensi pers pertamanya sejak dilantik bulan lalu, Kamis (3/7/2025), Lee menyatakan pihaknya telah berupaya semaksimal mungkin.

“Namun, masing-masing pihak masih belum sepenuhnya memahami apa yang diinginkan pihak lain,” tambahnya dikutip dari Bloomberg, seraya mengakui proses negosiasi sejauh ini tidak berjalan mudah.

Korea Selatan, sebagai sekutu utama AS dan eksportir besar mobil, semikonduktor, serta baterai, kini berada dalam tekanan akibat kampanye tarif Trump.

Dengan ekspor yang setara lebih dari 40% PDB nasional, perekonomian Negeri Ginseng sangat rentan terhadap dampak tarif AS dan gejolak perdagangan global.

Lee juga menyampaikan komitmennya untuk melanjutkan dialog dengan Korea Utara serta memperbaiki hubungan dengan China dan Rusia.

Pejabat Seoul sendiri telah mengakui peluang tercapainya kesepakatan sebelum tarif baru mulai berlaku pada 9 Juli sangat kecil. Tanpa kesepakatan atau perpanjangan tenggat, tarif timbal balik terhadap ekspor ke AS akan melonjak dari 10% menjadi 25%.

Vietnam

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan dagang dengan Vietnam, menyusul serangkaian diplomasi intensif dalam beberapa pekan terakhir.

Pengumuman tersebut datang menjelang tenggat waktu 9 Juli, di mana tarif impor dari Vietnam ke AS dijadwalkan mengalami kenaikan signifikan.

Melalui unggahan di media sosial pada Rabu (2/7/2025), Trump menyatakan tarif sebesar 20% akan dikenakan terhadap ekspor Vietnam ke AS. Sementara itu, tarif sebesar 40% akan diberlakukan untuk barang-barang yang dianggap sebagai hasil transshipment—yakni produk yang berasal dari negara ketiga, seperti China, yang hanya melalui proses perakitan ringan di Vietnam sebelum diekspor ke AS.

Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Vietnam sepakat untuk menghapus seluruh tarif terhadap produk-produk impor dari AS.

“Dengan kata lain, mereka akan ‘membuka pasar mereka untuk AS, artinya, kita dapat menjual produk ke Vietnam dengan tarif nol,” tulis Trump dikutip dari Bloomberg, Kamis (3/7/2025).

Trump mengklaim kesepakatan ini tercapai setelah melakukan pembicaraan langsung dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, To Lam.

Kementerian Luar Negeri Vietnam dalam pernyataan resminya menyampaikan bahwa dalam percakapan kedua pemimpin tersebut, Trump menyatakan komitmen untuk terus bekerja sama menyelesaikan isu-isu yang menghambat hubungan dagang bilateral. To Lam juga meminta agar AS mengakui Vietnam sebagai ekonomi pasar dan mencabut pembatasan ekspor untuk produk teknologi tinggi tertentu.

Meskipun Trump telah mengungkap garis besar kesepakatan ini, Gedung Putih belum merilis dokumen resmi atau pengumuman presiden yang mengesahkan perjanjian tersebut. Sebagian detail perjanjian diperkirakan masih dalam tahap finalisasi. Sebagai perbandingan, kesepakatan dagang AS-Inggris yang diumumkan pada awal Mei lalu baru ditandatangani secara resmi pada pertengahan Juni.

Kesepakatan dengan Vietnam ini menjadi yang ketiga diumumkan oleh Trump, setelah kesepakatan dengan Inggris dan China.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini