Ekonomi & Bisnis Korupsi Tata Kelola Minyak di Pertamina Diduga Terskema dari Hulu hingga Hilir

Korupsi Tata Kelola Minyak di Pertamina Diduga Terskema dari Hulu hingga Hilir

15
0
Korupsi Tata Kelola Minyak di Pertamina Diduga Terskema dari Hulu hingga Hilir
Grafik kasus korupsi tata kelola minyak di Pertamina.(Dok Litbang MI)

KASUS dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga dinilai sudah terskema dari hulu hingga hilir. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Darmawan, mengungkapkan skema korupsi ini diduga dimulai dari pengondisian agar produksi minyak mentah dalam negeri menurun. Kondisi inilah yang dijadikan dasar untuk melakukan impor minyak mentah.

“Modus seperti ini sebetulnya bukan yang pertama kali. Bahkan, kasus-kasus korupsi impor yang lain, modus korupsi terencana selalu dimulai dari pengkondisian jumlah suatu produk sehingga pemerintah punya dalih untuk melakukan impor,” ungkapnya, Selasa (4/3). 

Lalu, proses impor tersebut kemudian dijadikan ladang korupsi. Cara yang dilakukan adalah dengan pengaturan pemenang bagi perusahaan eksekutor impor serta penambahan harga impor atau mark up

Pada kasus PT Pertamina Patra Niaga, praktik ini jelas tidak hanya merugikan konsumen yang mengonsumsi BBM, tetapi juga berdampak signifikan terhadap kerugian negara.

“Apabila konstruksi perkara yang disampaikan kejaksaan di persidangan nantinya terbukti, modus korupsi seperti itu terjadi dengan sangat terencana,” kata dia.

Munculnya kasus ini, lanjut dia, menunjukkan masih lemahnya pengawasan, baik itu pemerintah maupun DPR dalam hal tata kelola migas termasuk dalam konteks kebijakan impor. Publik pun dibuat marah karena kasus ini terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, pada rentang 2018-2023.

Baginya, Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum yang menangani ini mesti serius dalam membongkar seluruh pihak yang terlibat. “Penegakan hukum harus lebih agresif dalam memberantas praktik-praktik mafia migas. Tidak hanya melalui penindakan terhadap pelaku, tetapi juga melalui perbaikan sistem pengawasan yang lebih ketat di sektor migas,” kata Yuris.

Menurut Yuris, negara sudah seharusnya mempertimbangkan bagaimana memberikan kompensasi bagi masyarakat yang terdampak langsung pada kasus korupsi ini. Selama ini, pembuat kebijakan memang tidak pernah membuat terang mekanisme masyarakat yang terdampak korupsi bisa melakukan gugatan.

Meskipun ada peluang melakukan gugatan class action dari masyarakat, akses hukumnya masih sulit dan seringkali ditolak oleh pengadilan. “Saya kira ini juga perlu menjadi catatan bagi pemerintah, bahwa masyarakat yang secara nyata terdampak langsung dari kasus korupsi masih belum mendapatkan akses keadilan,” ungkap dia.

Ia mengatakan, sistem pengawasan yang melibatkan masyarakat, media, dan organisasi masyarakat sipil harus diperkuat untuk mengurangi celah-celah yang dimanfaatkan oleh mafia migas. Pertama, mengawasi distribusi BBM dan melaporkan jika ada penyimpangan yang bisa dilakukan melalui aplikasi MyPertamina dan lapor.go.id. 

“Kedua, masyarakat bisa mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap distribusi dan alokasi energi melalui media dan media sosial. Hal ini tentunya karena keduanya bisa menjadi alat yang kuat untuk menyuarakan masalah ini melalui petisi atau kampanye digital,” ungkapnya.

Salah satu kelemahan dalam pemberantasan mafia migas adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang cara mafia migas bekerja. Oleh sebab itu, masyarakat perlu terus diedukasi mengenai modus operandi mafia migas agar mereka lebih waspada dan sulit untuk dimanipulasi. 

“Kasus Pertamina Patra Niaga menjadi pengingat bahwa tanpa partisipasi publik, praktik mafia migas akan terus berulang dan merugikan negara serta rakyat,” tutup dia. (AT/E-4)

 

Tinggalkan Balasan