
IndonesiaDiscover –

PARA astronom menemukan beberapa bintang muda di alam semesta awal, lebih menyukai “kepompong prenatal” yang lembut.
Bintang lahir di “panti asuhan bintang,” yaitu wilayah dalam galaksi yang kaya akan gas dan debu yang dapat menjadi sangat padat hingga runtuh membentuk bintang muda, atau yang disebut “protobintang.” Lebih tepatnya, wilayah ini disebut sebagai “awan molekuler,” yaitu kumpulan gas yang dapat membentang hingga ratusan tahun cahaya dan menghasilkan ribuan bintang.
Para ilmuwan banyak memahami bagaimana bintang terbentuk di alam semesta saat ini, tetapi masih menjadi misteri apakah benda-benda langit tersebut terbentuk dengan cara yang sama di alam semesta awal.
“Bahkan saat ini, pemahaman kita tentang pembentukan bintang masih berkembang; memahami bagaimana bintang terbentuk di alam semesta awal jauh lebih menantang,” kata pemimpin tim penelitian sekaligus peneliti dari Kyushu University, Kazuki Tokuda, dalam sebuah pernyataan.
“Alam semesta awal sangat berbeda dari sekarang, didominasi hidrogen dan helium. Unsur-unsur yang lebih berat baru terbentuk kemudian dalam bintang bermassa besar.”
Di galaksi Bima Sakti, awan molekuler yang membentuk bintang memiliki struktur seperti serat, atau “filamenter,” yang kemudian terpecah menjadi inti awan molekuler, mirip dengan “telur bintang” yang menarik lebih banyak gas dan debu dari awan molekuler yang lebih besar hingga akhirnya sebuah bintang muda “menetas.”
Namun, apakah proses ini juga terjadi miliaran tahun lalu? “Kita tidak bisa kembali ke masa lalu untuk mempelajari pembentukan bintang di alam semesta awal, tetapi kita dapat mengamati bagian alam semesta yang memiliki lingkungan serupa dengan alam semesta awal,” ujar Tokuda.
Salah satu lingkungan yang hampir tidak memiliki unsur lebih berat dari hidrogen dan helium—yang oleh para astronom secara kolektif disebut sebagai “logam”—adalah Awan Magellan Kecil (Small Magellanic Cloud/SMC).
Galaksi katai satelit Bima Sakti ini, yang berjarak sekitar 200.000 tahun cahaya dari Bumi, memiliki kandungan logam hanya sekitar seperlima dari galaksi kita. Hal ini membuat SMC menjadi perwakilan yang ideal untuk kondisi alam semesta yang berusia 13,8 miliar tahun, sekitar 4 miliar tahun setelah Big Bang.
Oleh karena itu, untuk menyelidiki kondisi pembentukan bintang pertama tanpa harus melihat 10 miliar tahun ke masa lalu, Tokuda dan timnya mengamati SMC menggunakan Atacama Large Millimeter Array (ALMA), kumpulan 66 teleskop radio yang terletak di Chile utara.
Meskipun studi sebelumnya tentang SMC dan wilayah pembentuk bintangnya tidak memiliki resolusi cukup tinggi untuk mengamati awan filamenter, ALMA memungkinkan pengamatan beresolusi tinggi yang membantu para ilmuwan menentukan apakah struktur semacam itu ada atau tidak.
“Secara keseluruhan, kami mengumpulkan dan menganalisis data dari 17 awan molekuler. Masing-masing awan molekuler ini memiliki bintang bayi yang sedang berkembang dengan massa 20 kali lipat dari matahari kita,” ujar Tokuda. “Kami menemukan sekitar 60% awan molekuler yang diamati memiliki struktur filamenter dengan lebar sekitar 0,3 tahun cahaya, tetapi 40% sisanya berbentuk ‘lembut’.”
Tim juga menemukan suhu di dalam awan molekuler filamenter lebih tinggi dibandingkan awan molekuler yang berbentuk lembut. Para peneliti berhipotesis perbedaan suhu ini kemungkinan terkait dengan usia awan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan suhu tinggi dalam awan filamenter disebabkan tabrakan antar awan. Ketika suhu tinggi, awan menjadi kurang turbulen. Namun, saat mendingin, awan menjadi lebih kacau, yang menyebabkan bentuk lembut muncul.
Temuan ini berdampak pada proses pembentukan bintang, di mana awan filamenter lebih mungkin terpecah untuk membentuk bintang bermassa rendah seperti matahari. Sebaliknya, jika awan menjadi terlalu lembut, kemungkinan besar awan tersebut tidak akan terpecah, sehingga bintang bermassa rendah sulit terbentuk.
“Studi ini menunjukkan lingkungan, seperti ketersediaan unsur berat yang cukup, sangat penting untuk mempertahankan struktur filamenter dan mungkin memainkan peran penting dalam pembentukan sistem keplanetan,” kata Tokuda.
“Di masa depan, akan penting untuk membandingkan hasil kami dengan pengamatan awan molekuler di lingkungan yang kaya akan unsur berat, termasuk galaksi Bima Sakti.”
Tokuda menambahkan studi seperti ini dapat memberikan wawasan baru tentang bagaimana awan molekuler terbentuk dan berkembang seiring waktu, sehingga membantu kita mendapatkan gambaran yang lebih rinci tentang evolusi alam semesta secara keseluruhan. (Space/Z-2)