

WAKIL Menteri Hukum, Edward Hiariej menyampaikan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan diberlakukan pada 2 Januari 2026, lebih mengedepankan pendekatan rehabilitasi sosial dan memberikan alternatif pidana selain penjara.
“Dengan pengaturan pidana yang lebih beragam ini, Balai Pemasyarakatan (Bapas) akan memegang peranan penting, karena ada pengalihan jenis pidana dari pidana penjara menjadi pidana pengawasan dan pidana kerja sosial,” jelas pria yang kerap disapa Eddy itu dalam keterangannya, Sabtu (1/2).
Eddy menuturkan bahwa pidana rehabilitasi dan pidana kerja sosial tersebut akan lebih banyak ditangani oleh Bapas yang mengambil peran lebih besar dalam implementasi hukum pidana di Indonesia.
“Karena pidana kerja sosial salah satunya bertujuan untuk mengurangi over populasi di dalam lapas (embaga pemasyarakatan/LP). Jadi mau tidak mau dan suka tidak suka kita harus mulai belajar untuk menerima paradigma hukum pidana modern dengan tidak lagi yang berorientasi pada balas dendam,” ujarnya.
Meskipun pidana hukuman penjara masih tetap menjadi pidana utama dalam KUHP baru, yang dikategorikan sebagai pidana terberat kedua setelah pidana mati, Eddy menekankan bahwa pidana penjara tidak lagi menjadi pilihan pertama dalam penjatuhan hukuman.
Atas dasar itu, Hakim diwajibkan untuk mempertimbangkan pidana yang lebih ringan terlebih dahulu seperti pidana denda, pidana kerja sosial, atau pidana pengawasan.
“Jadi pidana penjara diletakkan paling jauh. Kami ingin meminimalkan jumlah tahanan di penjara dengan memberikan kesempatan untuk rehabilitasi sosial melalui alternatif pidana yang ada karena alah satu tujuan dari visi KUHP nasional adalah reintegrasi sosial. Ini memang tugas terberat bagi petugas Lapas,” tuturnya.
KUHP baru juga menambahkan ketentuan yang mengharuskan hakim untuk menjatuhkan pidana kerja sosial bagi pelaku tindak pidana dengan ancaman hukuman tidak lebih dari tiga tahun.
“Pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana itu harus mencakup tiga hal yaitu harus memastikan bahwa ketika narapidana itu kembali ke masyarakat dia tidak lagi mengulangi perbuatan pidana, bisa diterima oleh masyarakat dan bermanfaat bagi masyarakat,” kata Eddy.
“Oleh karena itu, alternatif modifikasi pidana yang seharusnya dilakukan adalah pidana kerja sosial,” sambung dia.
Eddy memaparkan sejarah pidana kerja sosial ini pertama kali diperkenalkan di Belanda pada 1982, dan bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi pelaku tindak pidana untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat, tanpa mengganggu hak mereka untuk mencari nafkah bagi keluarga. Pekerjaan sosial ini juga dibatasi dengan waktu yang tidak boleh melebihi 40 jam per minggu.
Selain itu, bagi pelaku tindak pidana dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun, hakim wajib mempertimbangkan pidana pengawasan, yang dikenal juga sebagai pidana percobaan.
“Pidana ini memberi kesempatan bagi pelaku untuk menjalani hukuman di luar penjara, dengan pengawasan dari aparat yang berwenang,” tukas Eddy. (Dev/J-2)