Ekonomi & Bisnis 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran, Transisi Energi Belum Terefleksi

100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran, Transisi Energi Belum Terefleksi

6
0
100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran, Transisi Energi Belum Terefleksi 
PLTS(Antara Foto)

INSTITUTE for Essential Services Reform (IESR)  memberikan catatan terkait komitmen transisi energi dalam 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. IESR berpandangan, semangat pemerintah Indonesia mencapai kemandirian energi dan nol emisi lebih cepat dari 2060,  belum sepenuhnya terefleksi.

IESR menilai pemerintah perlu segera menerjemahkan komitmennya bertransisi energi. Misalnya dengan mengeluarkan rencana untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan serta meninggalkan teknologi energi fosil. Termasuk langkah-langkah taktis mencapai bauran energi terbarukan 23% di akhir tahun 2025 agar tidak kehilangan momentum.

Sebulan setelah dilantik, Presiden Prabowo menegaskan kontribusi dan kepemimpinan Indonesia mengatasi perubahan iklim global dan transisi energi terbarukan melalui pidatonya di APEC CEO Summit dan KTT G20 di Brasil. Ia menyampaikan target net zero sebelum 2050 dengan strategi menghentikan PLTU batubara dalam 15 tahun, mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun, dan mencapai swasembada listrik.

Namun, IESR menyebut hingga kini belum ada arahan khusus dari presiden untuk memastikan tercapainya janji tersebut, secara khusus mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada 2025 dan mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang.

“Sejauh ini, fokus pemerintah masih pada target jangka panjang dengan mengungkapkan rencana RUPTL 2025-2034 yang konon pembangkitan akan didominasi oleh energi terbarukan. Untuk itu, IESR menilai pemerintah perlu menyiapkan langkah taktis, seperti mempercepat pembangunan 9 GW energi kapasitas terbarukan di tahun ini,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangan resmi, Rabu (22/1).

Tidak hanya itu, lanjutnya, untuk melancarkan implementasi dan pengoperasian jangka panjangnya, komitmen yang disampaikan secara verbal dalam forum internasional tersebut perlu segera dituangkan dalam aturan yang jelas. Selain itu diintegrasikan dalam berbagai kebijakan energi.

Namun, katanya, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang terbit pada November 2024 justru masih mempertahankan pencapaian target net zero 2060, bukan 2050, dan puncak emisi di 2035, bukan di 2030. Selain itu, RUKN juga masih memuat rencana pembangunan PLTU hingga 2035.

Fabby mengatakan transisi energi merupakan proses yang panjang tetapi keputusannya harus dibuat sekarang. Hal itu supaya memberi waktu untuk penyusunan perencanaan energi yang terintegrasi dan implementasi yang terukur.

“Keberanian presiden dan wapres untuk melawan status quo, kepentingan yang mempertahankan energi fosil, serta berbagai alasan untuk mengerdilkan upaya transisi energi, menjadi syarat agar meraih ketahanan dan swasembada energi yang selaras dengan Asta Cita,” kata Fabby.

Sesuai ambisi presiden menghentikan operasi PLTU di 2040, kajian IESR menemukan pengakhiran operasional PLTU batu bara secara dini dapat diterapkan pada 105 unit PLTU (25 GW). Aksi  ini berkontribusi terhadap hampir setengah pengurangan emisi kumulatif pembangkit listrik on-grid.

Komitmen presiden untuk pensiun dini PLTU batubara pada 2040-2045, ujar Fabby, harusnya disertai juga dengan penghentian pembangunan PLTU captive.

“Tidak hanya itu, upaya mempertahankan penggunaan batubara yang kotor dengan menggunakan teknologi CCS/CCUS yang belum teruji dapat menurunkan emisi secara signifikan harus dibandingkan efektivitas hasil dan biayanya, dengan pilihan  pemanfaatan energi terbarukan, yang lebih bersih, murah dan pasti memangkas emisi,” paparnya.

Fabby juga menambahkan agar pemerintah perlu secara serius mencermati tren pasar global yang menuntut produk barang maupun jasa yang rendah emisi. Hal itu menuntut listrik yang bersih dan rendah karbon. Kemampuan negara menyediakan listrik rendah karbon akan menentukan daya tarik investasi sebuah negara. 

Lebih jauh, Fabby menekankan pentingnya lapangan tanding yang setara untuk pemanfaatan energi terbarukan, dengan mengurangi subsidi energi fosil secara bertahap. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada 2024, pemerintah menghabiskan anggaran Rp386,9 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi fosil, termasuk BBM, LPG, dan listrik, yang 87% listrik berasal dari energi fosil.

Sementara, penggunaan energi fosil, termasuk BBM berkualitas rendah telah meningkatkan beban biaya kesehatan hingga Rp1,2 triliun pada 2023 untuk wilayah Jakarta saja akibat tingginya polusi.

“Selama 100 hari ini, pemerintah Prabowo-Gibran masih belum memiliki strategi penurunan subsidi energi kotor dan mengatasi dampak harga energi jika subsidi dikurangi secara bertahap dan dibuat tepat sasaran,” ungkap Fabby.

“Selama 100 hari, reformasi kebijakan pemberian harga DMO batu bara kepada PLN juga belum ada di radar para pembuat kebijakan. IESR juga mendorong pemerintah untuk mengkaji dampak kebijakan ini terhadap akselerasi pengembangan energi terbarukan,” imbuhnya.

IESR merekomendasikan, ketimbang mempertahankan subsidi batu bara dalam bentuk Domestic Market Obligation (DMO) USD70/ton kepada PLN, yang menghambat keekonomian energi terbarukan, sebaiknya pemerintah membuat skema pendanaan baru untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia.

“Ini bisa dilakukan dengan cara memungut 2,5-5 persen dari nilai batu bara yang diekspor. IESR memperkirakan pemerintah dapat menghimpun lebih dari US$1,25-US$ 2,5 miliar per tahun dari pungutan ini. Dana ini dapat membantu pembiayaan investasi pembangkit energi terbarukan dan transmisi yang dilakukan oleh PLN dan pemilik wilus lainnya,” pungkasnya. (H-3)

Tinggalkan Balasan