IndonesiaDiscover –
Forum Wartawan Industri (Forwin) turut menggelar diskusi terkait otomotif nasional (14/1/25). Di dalam acara itu, turut dipaparkan prospek kinerja penjualan 2025 yang dinilai semakin menantang. Banyak kondisi bisa menjadi “batu sandungan”. Makanya dibutuhkan aneka tambahan insentif untuk menjaga performa bisnis. Terutama akibat kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Terus, penerapan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) serta bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) di daerah.
Turut dipaparkan pula, penurunan jumlah kelas menengah menjadi ancaman sektor otomotif. Karena selama ini mereka menjadi pembeli kendaraan bermotor sekaligus mesin ekonomi Indonesia. Pada 2024, jumlah kelas menengah mencapai 47,85 juta, turun dari 2019 sebanyak 57 juta. Ini menjadi penyebab stagnasi pasar mobil di level 1 juta unit selama 2014-2023 dan kontraksi pasar pada 2024.
Jadi, tanpa tambahan insentif, penjualan mobil 2025 dikhawatirkan jebol di bawah 800 ribu unit, melanjutkan tren buruk pada 2024. Tahun lalu pasar harus ambruk 13,9 persen menjadi 865.723 unit. Sebaliknya, dengan skenario tambahan insentif. Market mobil bisa diselamatkan dengan estimasi penjualan 900 ribu unit. Sejauh ini, pemerintah telah merilis insentif diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil hybrid sebesar 3 persen. Namun, pertolongan ini dinilai belum cukup.
Ambil contoh, pemerintah bisa mengucurkan tambahan insentif berupa diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil 4×2 rakitan lokal. Lalu diskon pajak untuk pembeli pertama, serta insentif untuk pabrikan yang melakukan lokalisasi. Termasuk kegiatan riset dan pengembangan (litbang) di sini.
Pemerintah juga bisa memberikan dukungan ke sektor manufaktur dan memperlambat deindustrialisasi. Misalnya perpanjangan tenor kredit kendaraan bermotor menjadi 7-8 tahun yang bisa meningkatkan daya beli konsumen. Dengan skema ini, pendapatan minimum diperlukan untuk mengambil kredit mobil lebih kecil 19-25 persen dibandingkan tenor lima tahun.
Selain itu, pemerintah bisa membantu peningkatan ekspor mobil dalam bentuk utuh (completely built up/CBU) nasional. Yakni dengan menjalin perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan beberapa negara. Hal tak kalah penting adalah menjaga, bahkan memperkuat kelas menengah, yang menjadi urat nadi ekonomi nasional sekaligus konsumen mobil baru.
Di sisi lain, penerimaan negara dan daerah juga dipastikan tidak berkurang, ketika insentif fiskal dirilis. Sebab, ada tambahan volume penjualan besar, sehingga dapat mendongkrak perolehan PPh badan hingga perorangan.
“Menyadari pentingnya sektor otomotif bagi kontribusi ekonomi Indonesia dan tantangan yang dihadapi pada 2025. Kemenperin secara aktif menyampaikan usulan insentif dan relaksasi kebijakan kepada pemangku kepentingan terkait,” ujar Setia Darta, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Ia menegaskan, pada 2024 industri otomotif kontraksi dua digit. Penurunan ini disebabkan oleh pelemahan daya beli masyarakat serta kenaikan suku bunga kredit kendaraan bermotor. Industri otomotif, katanya, diperkirakan menghadapi tantangan yang lebih besar. Sebab implementasi kebijakan kenaikan PPN serta penerapan opsen PKB dan BBNKB.
Otomotif menjadi salah satu sektor yang memiliki kontribusi signifikan terhadap PDB. Setia menilai, industri ini mencatatkan perkiraan penurunan sebesar Rp4,21 triliun pada 2024. Ini berimbas ke sektor backward linkage sebesar Rp4,11 triliun dan sektor forward linkage sebesar Rp3,519 triliun. (ALX/TOM)
Baca juga:
Sambut 2025, Pemain Otomotif Wait and See Terkait Pasar
Harga Xforce dan Model Mitsubishi Lainnya Bakal Naik Per Februari 2025