Ekonomi & Bisnis Kemitraan Strategis Kunci Hilirisasi Mineral yang Inklusif dan Berkelanjutan

Kemitraan Strategis Kunci Hilirisasi Mineral yang Inklusif dan Berkelanjutan

64
0
Kemitraan Strategis: Kunci Hilirisasi Mineral yang Inklusif dan Berkelanjutan
Hilirisasi mineral(MI/Lina Herlina)

PENELITIAN terkini dari tim dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya (UB) Malang menegaskan pentingnya kemitraan strategis sebagai landasan utama untuk memastikan manfaat hilirisasi mineral dirasakan secara luas oleh masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Dalam laporan berjudul Laporan Akhir: Membangun Kemitraan Antara Masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Perusahaan untuk Optimalisasi Manfaat Hilirisasi, peneliti utama Hendi Subandi menggarisbawahi keberhasilan model kemitraan di sejumlah wilayah sebagai bukti nyata dampak positif hilirisasi.

Di Gresik, PT Freeport Indonesia (PT FI) berhasil melibatkan masyarakat setempat melalui forum komunikasi “Rembuk Akur,” yang menjadi wadah fasilitasi perekrutan tenaga kerja.

Forum ini menciptakan peluang kerja bagi masyarakat dari sembilan desa Ring 1, sekaligus mendukung pemberdayaan UMKM lokal yang terlibat dalam penyediaan barang dan jasa pendukung industri. UMKM lokal juga diberdayakan untuk memenuhi kebutuhan logistik perusahaan, seperti produksi seragam batik khas Gresik untuk karyawan PT FI.

Sementara itu, di Mempawah, PT Borneo Alumina Indonesia (PT BAI) memberikan peluang usaha baru bagi masyarakat lokal melalui skema kemitraan strategis. Program ini melibatkan pengembangan UMKM di sektor pendukung, seperti usaha warung makan, penyewaan tempat tinggal, dan toko kebutuhan harian, yang memberikan dampak ekonomi signifikan bagi komunitas sekitar.

“Hilirisasi memberikan dampak positif yang meluas. Dengan kemitraan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, manfaatnya dapat dirasakan secara inklusif oleh masyarakat lokal,” ujar Hendi.

Penelitian ini mengungkap bahwa kebutuhan kemitraan mengalami pergeseran sesuai dengan tahapan perkembangan industri. Pada fase awal, fokus utamanya adalah pembangunan infrastruktur sosial, seperti sekolah dan fasilitas kesehatan, untuk mendukung kebutuhan dasar masyarakat. Seiring dengan berkembangnya industri, perhatian beralih pada pelibatan UMKM lokal dalam rantai pasok serta pengembangan keterampilan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan industri hilirisasi.

Pada tahap industri yang telah matang, kolaborasi diarahkan pada pemberian bantuan permodalan kepada UMKM, pengembangan desa binaan, serta integrasi UMKM dalam rantai pasok utama perusahaan. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa masyarakat lokal tetap memperoleh manfaat langsung dari keberadaan industri hilirisasi.

Namun, Hendi juga menyoroti sejumlah tantangan dalam pelaksanaan model kemitraan. Salah satu kendala yang dihadapi adalah kurangnya regulasi turunan yang mendukung kemitraan di tingkat daerah. Selain itu, keterlibatan akademisi dan organisasi non-pemerintah (NGO) dalam mendampingi masyarakat lokal dinilai masih terbatas. Media juga dianggap perlu memperkuat narasi positif terkait manfaat hilirisasi untuk mendukung edukasi publik.

Hendi dan tim merekomendasikan penguatan regulasi daerah yang mendukung pola kemitraan strategis, kerja sama dengan akademisi untuk menyusun kurikulum pelatihan keterampilan, serta peningkatan koordinasi dengan NGO. Media diharapkan dapat berperan sebagai penghubung dalam mengedukasi masyarakat agar memahami dampak positif hilirisasi terhadap perekonomian lokal maupun nasional.

“Dengan melibatkan berbagai pihak dalam model kemitraan hexahelix, hilirisasi mampu menciptakan ekosistem yang inklusif dan berkelanjutan, memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal,” tambah Hendi.

Hasil penelitian ini menjadi pedoman penting bagi pemerintah, perusahaan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memperkuat pola kemitraan di sektor hilirisasi, sekaligus mewujudkan ekonomi yang kompetitif dan berkelanjutan. (RO/Z-10)

Tinggalkan Balasan