
IndonesiaDiscover –

HARI ini hingga Jumat (15-17/1), Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menggelar Sidang Tanwir I Periode 2022-2027 di Jakarta. Forum permusyawaratan tertinggi di bawah muktamar ini mengusung tema Dinamisasi Perempuan Berkemajuan Mewujudkan Indonesia Berkeadilan.
Indonesia berkeadilan adalah sebuah kondisi yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini, yang melekat dalam cita-cita kemerdekaan Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Cita-cita mulia untuk mewujudkan Indonesia berkeadilan ini telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang dengan tegas dituliskan, ingin mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Cita-cita keadilan juga tertuang dalam Pancasila sila ke-2 dan ke-5, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan cita-cita, nilai, dan sekaligus mandat konstitusi bagi para pemegang amanat rakyat di bumi pertiwi yang kita cintai ini.
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur telah menjadi perhatian ‘Aisyiyah di awal kehadirannya. Setelah perjalanan jelang 80 tahun kemerdekaan Indonesia ini, ‘Aisyiyah ingin kembali merefleksikan bagaimana pembangunan Indonesia dalam mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur ini.
Tema Tanwir I Aisyiyah periode kepemimpinan 2022-2027 sebagaimana disebutkan di atas merujuk pada dokumen Tanwir I Muhammadiyah yang bertajuk Mewujudkan Indonesia Berkemakmuran, bahwa keadilan sangat penting dan menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan cita-cita kemakmuran, kemakmuran tidak terwujud tanpa adanya keadilan, dan keadilan adalah jembatan menuju kemakmuran.
Perjalanan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia pada 2025 ini memasuki usia 80 tahun. Selama 80 tahun ini, tentu sudah banyak capaian yang diraih dalam mewujudkan Indonesia berkeadilan untuk seluruh rakyat Indonesia. Meskipun demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diupayakan dengan sungguh-sungguh oleh para pemimpin bangsa, para pemegang kekuasaan dari tingkat nasional sampai tingkat desa, dalam mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur.
Salah satu isu yang penting dalam mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil ialah tingkat kemiskinan. Data BPS per Maret 2024 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia menurun ketimbang di 2023. Meskipun mengalami penurunan, jumlahnya masih cukup besar yakni 25,22 juta orang atau sebesar 9,03%, dengan angka kemiskinan ekstrem sebesar 0,83%, per Maret 2024. Pemerintah telah menargetkan angka kemiskinan ekstrem 0% di 2024.
Menurunkan kemiskinan ini juga telah tertuang dalam Program Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sebagai kesepakatan global sampai dengan tahun 2030, dan pemerintah Indonesia telah menandatanganinya, khususnya dalam tujuan 1 yakni mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di mana pun, juga tujuan 2 yaitu menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan.
Jumlah penduduk miskin akan meningkat jika kelas menengah terbawah jatuh menjadi kelompok miskin apabila dihantam kondisi ekonomi yang sulit. Isu yang sangat penting dalam membahas tentang keadilan, khususnya dalam bidang ekonomi, ialah tentang ketimpangan, baik ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin yang makin lebar, ketimpangan antardaerah, dan ketimpangan antara desa dan kota.
MI/Duta
Keadilan untuk kelompok marginal
Kalau membicarakan keadilan untuk kesejahteraan ekonomi, maka melihat wajah-wajah kelompok rentan kelompok dan kelompok marginal merupakan sebuah keharusan. Kelompok ini harus mendapatkan afirmasi melalui kebijakan yang berpihak kepada mereka, program perlindungan sosial, dan berbagai program dalam meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kelompok tani/hutan kelompok nelayan/perikanan merupakan kelompok rentan yang miskin. Saat ini diperkirakan jumlahnya sekitar 35 juta, baik yang berusaha sendiri sebagai petani atau nelayan maupun sebagai buruh tani/nelayan. Mereka merupakan kelompok yang rentan, apalagi di tengah kondisi anomali perubahan iklim ini.
Perubahan iklim telah berdampak pada kondisi iklim yang tidak menentu, kemarau panjang, banjir, sehingga berdampak pada menurunnya penghasilan petani dan nelayan akibat gagal panen dan berkurang hasil tangkapan ikan. Hal itu menyebabkan sebagian besar dari kelompok ini berada dalam kondisi miskin, bahkan miskin ekstrem. Tidak sedikit yang akhirnya beralih profesi sebagai buruh bangunan, atau pergi merantau ke kota untuk bertahan hidup.
BPS mencatat, jumlah petani dan nelayan dari tahun ke tahun mengalami penurunan, sementara negara ingin mewujudkan swasembada pangan. Ini sebuah ironi yang harus menjadi perhatian dalam mewujudkan keadilan. Belum lagi, kebijakan tentang impor pangan yang saat ini membanjiri pasar Indonesia, tentu akan membuat kondisi petani/nelayan sebagai kelompok rentan akan kian terpuruk. Harapan untuk mewujudkan Indonesia berkeadilan pun kian jauh.
Jika dianalisis lebih mendalam, dengan melihat pada data terpilah gender pada kelompok tani dan nelayan ini, perempuan petani dan perempuan nelayan berada dalam stratifikasi yang lebih rendah lagi. Meskipun hidup mereka sehari-hari dihabiskan bekerja penuh waktu sebagai petani dan nelayan bersama suami atau sendiri, dari sisi identitas, lebih banyak disebut sebagai ibu rumah tangga (IRT).
Dampaknya, ketiadaan identitas hukum bagi petani dan nelayan perempuan menjadikan mereka tidak memiliki akses atas berbagai program pemerintah, tidak mendapatkan perlindungan sosial khusus untuk petani dan nelayan, karena secara de jure identitas hukumnya sebagai IRT meskipun secara de facto berprofesi sebagai nelayan dan petani. Oleh karena itu, program-program pemerintah harus menyasar kelompok perempuan petani dan nelayan ini.
Tidak ada yang tertinggal
No one left behind, tak boleh seorang pun ditinggalkan merupakan mandat dari Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang menjadi agenda pembangunan dunia termasuk Indonesia. Semua warga negara dengan identitas apa pun seharusnya bisa mendapatkan akses, berpartisipasi secara bermakna, dan mendapatkan manfaat dalam pembangunan.
Namun, belum semua warga negara memiliki peran tersebut, termasuk perempuan. Bahkan wajah kemiskinan adalah wajah perempuan karena perempuan menanggung dampak dari kemiskinan. Membahas tentang keadilan ini, perempuan berada dalam posisi yang masih harus berjuang untuk memperolehnya, khususnya para perempuan dalam kelompok rentan dan marginal.
Dalam bidang kesejahteraan ekonomi, sebagian besar perempuan bekerja dalam sektor informal yang kurang mendapat akses perlindungan sosial, dengan gaji yang tidak memenuhi standar UMR dan bekerja di sektor UMKM guram yang susah naik kelas. Angkatan kerja formal lebih tinggi laki-laki daripada perempuan.
Terdapat banyak hambatan sistemik perempuan atas akses kerja formal yang layak, baik dari sisi kultural dalam masyarakat yang patriarkis maupun struktural yakni kebijakan yang tidak berpihak kepada kelompok perempuan. Perempuan juga banyak bekerja dalam kerja-kerja ekonomi perawatan yang tidak berbayar. Kondisi itu berdampak pada kemiskinan perempuan, bahkan perempuan sering kali tidak memiliki aset sehingga tidak berdaya dan semakin rentan hidupnya.
Perempuan juga rentan terhadap kasus kekerasan, baik domestik, publik, termasuk di tempat kerja. Meskipun UU PKDRT sudah dua dekade disahkan, angka kekerasan dalam rumah tangga masih cukup tinggi, bahkan semakin meningkat dari hari ke hari. Demikian halnya dengan kasus kekerasan seksual, termasuk kekerasan berbasis elektronik juga meningkat.
Kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena gunung es. Ada harapan atas disahkannya UU TPKS bagi korban kekerasan seksual. Namun, masih banyak tantangan pemenuhan layanan bagi korban-korban kekerasan terhadap perempuan, baik dari sisi pencegahan, layanan, pendampingan, maupun pemulihan korban. Layanan yang ada belum mampu menjangkau seluruh kelompok masyarakat, khususnya yang di lokasi-lokasi terpencil, kepulauan.
Lalu, bagaimana dengan kelompok difabel? UU No 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas memandatkan pemenuhan hak bagi kelompok disabilitas, misalnya untuk akses layanan dasar seperti pekerjaan, pendidikan, kesehatan, termasuk penyediaan akses sarana-prasaran di tempat-tempat umum (public facilities).
Meskipun demikian, sudah hampir satu dekade UU tersebut disahkan, pemenuhan hak untuk kelompok difabel masih jauh. Kelompok difabel masih kesulitan mendapatkan akses pekerjaan dan pendidikan. Mereka yang tidak mengakses pendidikan terpaksa tidak menikmati hak dasarnya dalam bidang pendidikan.
Dinamisasi perempuan berkemajuan
Sejak kehadirannya, dengan teologi Al Maun, ‘Aisyiyah bekerja untuk kelompok rentan dan marginal, berkontribusi untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni masyarakat yang adil dan makmur melalui berbagai bidang kehidupan.
Misi Islam sebagai rahmatan lil alamin menjadi napas dan darah dalam urat nadi kader-kader ‘Aisyiyah untuk melakukan dakwah kemanusiaan. ‘Aisyiyah melakukan dakwah lintas batas secara inklusif tanpa memandang identitas kelompok yang didampingi, kelompok penerima manfaat.