Nasional Sudah Dua Kali Lakukan KDRT, Anggota TNI di Surabaya hanya Dihukum Percobaan

Sudah Dua Kali Lakukan KDRT, Anggota TNI di Surabaya hanya Dihukum Percobaan

12
0

IndonesiaDiscover –

Sudah Dua Kali Lakukan KDRT, Anggota TNI di Surabaya hanya Dihukum Percobaan
Ahli hukum pidana Universitas Surabaya (Ubaya) Elfina Lebrine Sahetapy.(MI/Heri Susetyo)

OKNUM anggota TNI AL pelaku kekerasan dalam rumah tangga di Surabaya, Jawa Timur, rupanya sudah dua kali melakukan kejahatan KDRT. Namun, kedua kasus KDRT yang dibawa ke meja pengadilan hukum militer itu rupanya hanya bermuara pada hukuman percobaan.

Hal itu pun mendapat kritik tajam dari

ahli hukum pidana Universitas Surabaya (Ubaya) Elfina Lebrine Sahetapy.

Menurut Elfina, putusan itu janggal dan dianggap tidak memedulikan perlindungan terhadap hak korban. Terlebih, pelaku bisa dikatakan sebagai residivis kejahatan tersebut. Tidak menutup kemungkinan pelaku akan kembali mengulang perbuatannya karena hukuman yang diberikan tidak memberi efek jera.

Anggota TNI AL yang menjadi terdakwa KDRT itu adalah Lettu Laut (K) Raditya Bagus Kusuma Eka Putra. Korban KDRT adalah istrinya yang bernama Maedy Christiyani Bawolje, serta dua anak sambung yaitu CSP dan ASP.

Terdakwa diketahui juga melakukan perbuatan yang sama dengan istri pertama dan berakhir perceraian. Namun saat itu, majelis hakim militer hanya memvonis hukuman percobaan.

Demikian pula saat kasus KDRT terjadi  kedua kalinya, majelis hakim militer yang diketuai Letkol Chk Arif Sudibya, memvonis terdakwa 6 bulan namun tanpa dipenjara. Hakim juga memberi hukuman 8 bulan percobaan, yang artinya terdakwa baru bisa dipenjara 6 bulan apabila melakukan perbuatan melanggar hukum atau disiplin militer semenjak putusan hingga 8 bulan ke depan.

Elfina mempertanyakan penyebab majelis hakim bersikukuh memberikan hukuman percobaan. Padahal, sudah jelas bahwa istri mengalami KDRT dan ada bukti visum. Selain itu, KDRT juga menyasar anak pertama hingga mengalami luka yang lebih parah serta menimbulkan gangguan penyakit lain.

“Terdakwa anggota TNI harusnya mengayomi masyarakat, mengayomi unit terkecil saja tidak bisa, dalam hal ini keluarga. Lalu bagaimana bisa mengayomi masyarakat. Terdakwa adalah dokter yang tugasnya menyembuhkan orang sakit dan bukannya menyakiti apalagi keluarga,” kata Elfina, Selasa (14/1).

Menurut Elfina, putusan itu tidak memedulikan perlindungan terhadap hak korban. Hal yang lebih janggal, sambungnya, adalah tuntutan restitusi juga ditolak oleh hakim.

Padahal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sudah memberi bukti kerugian yang harus dibayar pelaku. Sesuatu yang menjadi hak korban, kerugian atau biaya yang dikeluarkan seharusnya dibayar pelaku atau terdakwa.

“Dengan kredibilitas seorang anggota TNI dan dokter yang menjadi seorang residivis dan masih menjadi tersangka kasus lain masih dalam proses hukum, ini bukan sesuatu yang baik dilihat masyarakat, hakim harus berani mempertanggungjawabkan putusan yang diambil,” kata Elfina. (HS/J-3) 

Tinggalkan Balasan