PAKAR hukum tata negara Mohammad Mahfud MD mengajak publik tetap memelihara asa akan perbaikan penegakan hukum dan keadilan dalam sistem demokrasi di Indonesia.
“Di tengah pemerosoton substansial hukum dan keadilan, kita harus terus punya asa. Sebab kalau mau memperbaiki negara, benahi hukum dan demokrasi dulu,” kata Mahfud saar seminar bertajuk Outlook Penegakan Hukum Indonesia 2025 yang diseleggarakan kerja sama World Justice Project dengan MMD Initiatives, Hotel Borobudur, Kamis (12/12).
Dikatakan Mahfud, teori tentang hukum, keadilan dan demokrasi sudah kerap diseminarkan. Civil society, akademisi, tak berhenti meneriakkan agar hukum dan keadilan berkembang baik. Tapi, belum ada perubahan signifikan.
Kata Mahfud, tinggal ada satu teori yang bisa mewujudkan asa masyarakat. Yakni, komitmen, konsistensi, dan ketegasan Presiden Prabowo dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Diakui, Pemerintahan anyar di bawah Presiden Prabowo yang baru berusia 53 hari, sejauh ini terus menunjukkan komitmennya untuk membenahi hukum dan memberantas korupsi.
“Teori sudah banyak, habis gudangnya. Harapan dan asa itu bergantung ke Presiden Prabowo. Komitmen sudah kita dengar bersama di berbagai pidato, nah tinggal konsistensi, ketegasan, dan keberaniannya kita tunggu,” ingatnya.
Selain itu, lanjut Mahfud, di bidang demokrasi, sejumlah pihak menilai perkembangan demokrasi masih baik di rentang 2012-2013. Namun 10 tahun kemudia merosot menjadi demokrasi cacat, bahkan ada yang menyebutnya demokrasi gagal.
Perkembangan negatif indeks demokrasi ini sejalan dengan perkembangan negatif penegakan hukum dan keadilan. Karena meluasnya korupsi yang penegakan hukumnya kurang bagus. Berdasar temuan Transparansi Internasional Indonesia (TII) indeks persepsi korupsi dalam tiga tahun terakhir ini di angka 34.
Di luar masalah korupsi yang parah, World Justice Project (WJP) pada 2015-2024 score rule of law index Indonesia stagnan di angka 0,52-0,53 dalam rentang nilai 1 sebagai nilai tertingginya. Ini berarti index negara hukum Indonesia ada di bawah rata-rata dunia yang besarnya 0,55 dan rata-rata regional yang besarnya 0,59.
“Situasi ini sungguh jelek jika dikaitkan dengan kriteria Bank Dunia tentang aset sebuah negara. Menurut Bank Dunia, kepatuhan atau penegakan hukum mancakup 44 persen dari aset suatu bangsa,” paparnya.
Indonesia Emas 2045, sambung Mahfud, tak akan terwujud jika masih perilaku koruptif, lemahnya penegakan hukum, dan maraknya ketidakadilan.
“Sekali lagi, mari mencari dan berharap munculnya asa dari keputusasaan yang mulai menghantui masyarakat kita. Dan asa terbesar itu terletak pada pimpinan Pemerintahan dengan langkah-langkahnya yang lebih nyata mulai 2025,” harapnya.
Senior Program Associate, WJP’s Rule of Law Index Erin Campbell memaparkan, WJP telah melakukan penelitian Indeks Negara Hukum, atau Rule of Law Index. WJP menyurvei 142 negara dengan 214.000 survei publik dan 3.500 survei ahli hukum mengukur bagaimana hukum ditegakkan dan dipersepsikan di seluruh dunia.
Indonesia sudah masuk pengukuran sejak 2015. Negera ini mengalami stagnasi selama satu dekade, sejak 2015 hingga 2024. Stagnasi pembangunan hukum tercermin pada skor indeks negara hukum yang jalan di tempat sejak 2015 hingga 2024. Pada 2015, skor indeks 0,51, kemudian hingga 2024, skornya adalah 0,53.
Skornya sama dengan 2023, namun peringkatnya melorot 2 tingkat, dari semula di peringkat 66 menjadi ke-68 dari 142 negara. Indonesia nomor 9 dari 15 negara di asia timur dan pasifik.
Indonesia juga dinilai termasuk negara yang sedang memasuki fase otoritarian, yang menjadi tren global dalam kurun setahun terakhir. “Skor pada indikator pembatasan kekuasaan Pemerintah menurun, dengan kata lain, Pemerintah menjadi semakin powerfull dan kurang akuntabel,” tuturnya.
Penurunan peringkat disumbang oleh dua indikator, yaitu pembatasan kekuasaan Pemerintah dan pemenuhan hak-hak dasar warga. Kedua hal tersebut berhubungan dengan menguatnya gejala otoritarianisme.
Dalam konteks perlindungan hak-hak dasar, Indonesia juta masih mempunyai persoalan dalam perlindungan hak privasi, kebebasan beragama, proses hukum yang adil, hak untuk hidup dan rasa aman, dan tidak adanya diskriminasi. Nilai perlindungan hak-hak dasar itu berada dibawah nilai rata-rata negara-negara lain di Asia Pasifik. Indonesia juga masih memiliki skor rendah dalam indikator sistem peradilan pidana dan indikator ketiadaan korupsi.
Dalam kesempatan yang sama, Hakim Mahkamah Agung (MA) Supardjo menegaskan, penegakan hukum memang amat penting. MA sebagai benteng hukum terakhir akan berusaha memperbaiki kinerja dan citranya.
“Kami tidak akan lepas tanggung jawab, yak akan melindungi nggota kami yang nakal. Kami akui masih ada perilaku hakim yang tak sesuai etika. Ke depan semoga akan lebih baik lagi. Awasi dan dorong kami,” pintanya.
Hadir dalam seminar ini, Senior Program Associate, WJP’s Rule of Law Index Erin Campbell, Ekonom FEB Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo, Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Dewan Pengawas Tranparency International Indonesia, Ketua Dewan Etik ICW Dadang Trisasongko, Hamid Basyaib dari MMD Initiative, dan Fathul Wahid Rektor UII Yogyakarta. (Cah/I-2)