Politik Pastikan Unsur Kesetaraan dalam Pemindahan Tahanan Antarnegara

Pastikan Unsur Kesetaraan dalam Pemindahan Tahanan Antarnegara

70
0
Pastikan Unsur Kesetaraan dalam Pemindahan Tahanan Antarnegara
Terpidana mati kasus narkotika Mary Jane Veloso ke negara asalnya, Filipina.(Antara)

PEMERINTAH Indonesia telah bersepakat untuk memulangkan terpidana mati kasus narkotika Mary Jane Veloso ke negara asalnya, Filipina. Menyusul hal tersebut, ternyata permintaan serupa ternyata juga datang dari sejumlah negara.

Para duta besar Australia, Prancis, hingga Inggris juga mengirimkan surat permohonan ke Presiden Prabowo untuk dapat memulangkan warga negara mereka yang menjadi tahanan di Indonesia.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakt, Abdul Fickar Hadjar mengatakan jika pemerintah Indonesia hendak melakukan MLA kepada berbagai negara, setidaknya ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan agar tidak berdampak buruk dan merugikan Indonesia.  

“Karena pada dasarnya setiap negara punya kewajiban melindungi warga negaranya. Tetapi tetap permintaan itu harus didasarkan perjanjian kerjasama dengan negara lain dengan tujuan baik bilateral maupun multilateral,” ujarnya kepada Media Indonesia melalui keterangan tertulis, Sabtu (23/11).    

Menurut Abdul, pemerintah harus mengkaji lebih jauh mengenai isi perjanjian ekstradisi yang ada. Selain itu, ia menilai harus ada pertimbangan hukum dan ideologi negara dalam skema pemindahan tahanan dengan mempertimbangkan.  

“Pertama harus dilihat dulu ada atau tidaknya perjanjian ekstradisinya, karena jika tidak ada maka tidak bisa dijalankan karena tidak ada dasar hukumnya. Jika ada, maka mereka juga harus memertimbangkan keuntungan dan kerugiannya, terutama yang berkaitan dengan ideologi negara,” katanya. 

Terpisah, Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menjelaskan pemerintah Indonesia harus bisa memastikan perjanjian yang setara di antara kedua negara terlebih dahulu sebelum pemindahan.

“Itu sebagai bentuk terobosan yang harus seimbang dengan perjanjian negara lain. Artinya, kalau kita memindahkan satu, harusnya ada keseimbangan. WNI (terpidana) yang ada di Filipina juga harus dipindahkan ke Indonesia,” katanya.

Hibnu menjelaskan dasar pemindahan tahanan antarnegara adalah prinsip yang baik untuk saling menjaga warga negara. Skema ini pada akhirnya menyangkut kehormatan negara sehingga jangan sampai Indonesia berada di posisi yang lemah.

“Bagaimanapun untuk melindungi warga negara masing-masing. Kita juga melindungi warga negara yang ada di negara lain, negara lain pun juga melindungi warga negara kita sehingga ada keseimbangan. Makanya, prinsip yang sama itu harus dijaga,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan saat ini Indonesia memang tidak memiliki undang-undang khusus yang mengatur pemindahan narapidana ke negara asal. Namun, Yusril menyebut kebijakan itu bisa diambil melalui kesepakatan MLA hingga diskresi dari presiden.

“Memang, belum ada aturan undang-undang yang mengatur tentang transfer of prisoners sampai sekarang. Juga belum ada yang mengatur tentang exchange of prisoners. Tapi kita memiliki banyak perjanjian kerja sama dengan negara-negara sahabat yang disebut dengan perjanjian MLA, yaitu Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, atau bantuan hukum, kerja sama hukum timbal balik dalam kasus kriminal dengan negara lain”, kata Yusril.

Yusril memaparkan tiap presiden di belahan dunia manapun berwenang dalam merumuskan satu kebijakan hingga mengambil keputusan yang didasari atas nilai-nilai kemanusiaan hingga menjaga hubungan baik kedua negara. Keputusan itu, kata Yusril, kadang belum secara spesifik diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.

“Jadi walaupun tidak juga didasari oleh suatu peraturan perundang-undangan, tapi berdasarkan kepada MLA dan juga berdasarkan kepada kesepakatan para pihak dan juga diskresi dari presiden untuk mengambil satu keputusan, satu kebijakan. Ya karena undang-undang tidak mengatur, menyuruh tidak, melarang juga tidak, maka presiden berwenang untuk mengambil satu diskresi terhadap persoalan ini,” katanya. (Dev/I-2) 

Tinggalkan Balasan