PEMERINTAH mengaku masih membahas dan mencari kebijakan yang tepat untuk mengatasi persoalan yang dihadapi industri dalam negeri. Pembahasan itu mencakup persoalan impor, geliat industri, hingga dampaknya terhadap sektor ketenagakerjaan.
Hal itu disampaikan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso kepada pewarta di kantornya, Jakarta, Senin (5/8).
“Itu sudah dari tiga tahun yang lalu kita pikirkan. Makanya kita kasih insentif, ini bukan hal baru, demand global. Itu tiga tahun lalu di ruangan ini, di kantor ini kita bikin Satgas Nasional. Jadi itu, dan itu di alami semua negara. Makanya (karena) ini masih terjadi, ya kita harus dorong, kita lakukan pembahasan bersama-sama,” ujarnya.
Baca juga : Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Butuh Transportasi Efektif dan Efisien
Pemerintah, kata pria yang karib disapa Susi itu menambahkan, menyadari persoalan industri saat ini cukup berat. Karenanya, koordinasi lintas sektor kementerian terus dilakukan dan diperkuat agar kebijakan yang dihasilkan dapat efektif menjawab persoalan.
Pengambil kebijakan turut memahami situasi industri saat ini berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat melemahnya aktivitas produksi. Karenanya, kata Susi, sejak awal pemerintah menaruh perhatian lebih pada sektor industri yang paling terdampak dari pelemahan ekonomi global.
“Itu kan kita sangat concern, karena itu industri yang sangat penting buat kita, share-nya ke ekonomi cukup tinggi. Kemudian juga di industri manufaktur Itu memang paling tinggi kan seperti makanan dan minuman, TPT, alas kaki, itu cukup tinggi,” jelasnya.
Baca juga : 29 Perusahaan Retail Buka Ratusan Peluang Kemitraan dengan SMK dan PTV
Selain mermpekuat koordinasi antarkementerian, pemerintah juga akan memanfaatkan negosiasi dagang yang sudah dan tengah dilakukan dengan negara-negara lain. Negosiasi itu mencakup kemudahan ekspor dan impor agar industri di dalam negeri bisa kembali bergeliat.
“Jadi semua langkah itu pemerintah lakukan. Jangan hanya lihat dari, oh regulasi yang ini begini. Jadi mulai regulasi trade remedies, insentif, sampai negosiasi dagang, kita dorong semuanya,” kata Susi.
Sebelumnya, pemerintah diharapkan bisa mengesampingkan ego sektoral dan duduk bersama untuk menghasilkan kebijakan yang tepat bagi industri pengolahan di dalam negeri. Pasalnya sektor tersebut saat ini berada dalam situasi yang cukup mengkhawatirkan.
Baca juga : Mitra Industri Diminta Lebih Aktif dalam Penempatan Lulusan BBPVP
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bobby Gafur Umar saat dihubungi Media Indonesia, Sabtu (3/8)
“Dari sisi industri manufaktur itu sangat mengkhawatirkan. Kenapa? Karena daya beli ini sedang turun. Jadi koordinasi pemerintah harus kuat. Lalu juga jangan ambil keputusan yang aneh-aneh, seperti tarif PPN yang naik dari 11% ke 12%. Kita sekarang market seperti ini, ekonomi seperti ini malah menaikkan pajak,” tuturnya.
Bobby sedianya mengapresiasi kebijakan awal yang diberikan pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Saat itu, menurutnya, beleid tersebut menjadi angin segar bagi industri lantaran terlindungi dari derasnya arus impor.
Baca juga : Indonesia – Tiongkok Galang Kolaborasi, Kemitraan Industri dan Pendidikan Vokasi
Namun kebijakan yang dinilai mendukung industri itu justru menjadi permasalahan lantaran terdapat keruwetan perihal Pertimbangan Teknis (Pertek) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian. Dus, tak heran saat itu puluhan ribu kontainer tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak.
Koordinasi yang lemah dari pemerintah, kata Bobby, juga terlihat dari respons yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan awal tersebut. Menteri Perdagangan merevisi Permendag 36/2023 dengan Permendag 8/2024 yang secara tak langsung membuka keran impor secara masif dan menghambat kinerja industri dalam negeri.
Imbas koordinasi yang lemah dari pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan bagi industri di Tanah Air sedianya tercermin sejak penurunan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur pada April 2024. “Itu bukan tiba-tiba, itu sudah terlihat dari April. April itu 52,7. Lalu terus turun, di Juni 50,7 dan sekarang 49,3, itu akan turun terus ke depan. Dari sisi produksi turun, permintaan juga turun,” kata Bobby.
Untuk menghindari pelemahan industri secara terus-menerus, pemerintah diminta mampu mengeluarkan kebijakan yang sinkron dan tepat. “Bagaimana dalam waktu dekat mengeluarkan kebijakan yang bisa melindungi pasar domestik dari serbuan impor. Yang paling kena itu TPT, alas kaki, produk kesehatan, mainan anak-anak, yang kayak gini kita bisa hampir 100% TKDN-nya. Pemerintah ini mesti konfirm,” tutur Bobby.
Dukungan dari sisi fiskal, khusus bagi TPT juga diperlukan. Peraturan mengenai Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk tekstil didorong untuk segera dilakukan pembaruan. Pasalnya, aturan itu telah habis masa berlakunya pada akhir 2022. (N-2)