IndonesiaDiscover –
SEPERTI dua anak merayakan kegembiraan, begitulah Lamine Yamal dan Nico Williams merayakan keberhasilan Spanyol untuk keempat kali menjuarai Piala Eropa. Mereka bersenda gurau, tertawa riang, sambil duduk-duduk di atas rumput Stadion Olimpiade Berlin di bawah tatapan mata puluhan ribu penonton dari atas tribune tempat duduk.
Yamal baru 13 Juli lalu merayakan sweet seventeen, sedangkan Williams empat tahun lebih tua. Meski orangtua mereka sama-sama berasal dari Afrika (Yamal berdarah Maroko dan Williams berdarah Gana), keduanya lahir dan besar di Spanyol. Keterampilan sepak bola Yamal ditempa di La Masia, Barcelona, sedangkan Williams mengikuti sekolah sepak bola di Bilbao.
Perjalanan mereka untuk mendapat tempat utama di La Furia Roja tidak didapat dengan mudah. Mereka harus bersaing dengan anak-anak muda berbakat lain yang ditempa sekolah sepak bola yang tersebar di semua klub di Spanyol.
Baca juga : 3 Rekor yang Dipecahkan Spanyol sembari Menjadi Juara Euro 2024
Persaingan yang ketat di antara para pemain muda menghasilkan putra-putra terbaik. Hanya mereka yang lebih gigih, lebih konsisten menempa dan memacu diri, serta tidak cepat bepuas dirilah muncul menjadi yang terbaik.
Begitu banyak calon bintang yang sempat bersinar terang, tetapi kemudian meredup cahayanya. Ansu Fati, misalnya, pernah begitu cemerlang dan bahkan sempat disebut sebagai Lionel Messi baru dari Barca. Namun, namanya kemudian tenggelam sebelum sempat menjadi pemain utama di tim nasional Spanyol.
Seperti halnya Pele, Diego Maradona, Messi, Cristiano Ronaldo, dan Kylian Mbappe, sekarang Yamal menjadi kekecualian. Ia menjadi pemain termuda di Eropa yang bisa mencetak gol dalam turnamen besar sekelas Piala Eropa. Gol yang ia ciptakan ke gawang Prancis bukan gol biasa, tetapi sebuah gol yang sangat indah.
Baca juga : Lamine Yamal dan Nico Williams, Penyerang Muda Spanyol yang Superior
Nama Yamal melambung begitu tinggi. Semua orang memuji penampilannya yang luar biasa sepanjang Euro 2024. Menjadi pertanyaan, apakah ia akan mampu menjaga prestasinya dan menjadi bintang besar seperti Pele, Messi, dan Ronaldo yang dijuluki ‘greatest of all time’ (GOAT).
Kalau bisa tetap rendah hati dan menginjak bumi, terus berlatih dan mengasah kemampuan diri, serta tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diraih, Yamal akan menjadi bintang besar seperti Messi.
Yamal memiliki modal untuk menjadi bintang sepak bola baru. Ia memiliki kecepatan. Ia mempunyai kecepatan dalam menggiring bola. Ia memiliki teknik sepak bola yang sempurna. Ia memiliki ketajaman dalam membaca permainan dan mampu mengambil keputusan yang tepat saat di bawah tekanan.
Baca juga : Man of the Match Final Euro 2024, Nico Williams, Puji Solidnya Timnas Spanyol
Hasilnya bukan hanya gol indah ke gawang Prancis. Di final ia memberikan assits sempurna kepada Williams untuk menjebol gawang Inggris. Permainan di sektor kiri pertahanan ‘the Three Lions’ menarik perhatian para pemain belakang Inggris untuk melokalisasi ancaman. Namun, dengan cepat Yamal masuk kotak penalti dan ketika lawan mencoba menghadang, ia melepaskan umpan terukur menyusur tanah ke tiang jauh tempat Williams bebas tidak terjaga.
Bek kanan Inggris Kyle Walker mencoba melakukan sliding, tetapi sudah terlambat karena Williams sudah melepaskan tendangan menyusur tanah ke arah sudut kiri gawang yang tidak mampu ditahan kiper Jordan Pickford.
Baca juga : Raih Gelar Pemain Muda Terbaik Euro 2024, Lamine Yamal: Ini Kado Ulang Tahun Terbaik
Tak pernah bohong
Yamal dan Williams tidak jadi begitu saja. Proses menjadi bintang harus melalui perjalanan yang panjang. Tidak pernah ada keberhasilan yang instan. Semua harus melalui sebuah proses yang melelahkan.
Sepak bola tidak cukup lagi hanya mengandalkan bakat dan kemampuan teknik semata. Mereka harus membentuk otot yang kuat, tetapi tetap harus lentur. Mereka harus tahan menghadapi benturan badan dan hadangan kaki lawan.
Semua itu diraih dengan latihan fisik yang bukan hanya keras, melainkan juga melelahkan. Setiap calon bintang harus berulang-ulang melakukan sprint baik di lintasan yang datar maupun menanjak. Mereka bahkan harus mampu tetap bergerak ketika rekan latihan mereka menahan dari belakang. Semua itu dilakukan setiap hari.
Latihan kebugaran juga tidak kalah beratnya. Mereka harus mengangkat barbel dengan beban yang beragam agar terbentuk otot yang kuat. Belum lagi lari mengitari lapangan yang kadang harus dilakukan di tengah hari bolong.
Setelah itu mereka baru diizinkan bermain dengan bola. Mulai bermain secara individu hingga dalam tim. Melatih ketajaman melakukan tendangan bebas dan set-piece untuk memanfaatkan tendangan penjuru. Latihan dengan gim dilakukan tidak ubahnya seperti pertandingan yang sesungguhnya.
Kewaspadaan untuk menjaga diri harus terus dilakukan saat menjalani latihan. Sikap ceroboh bisa membahayakan diri sendiri. Tidak sedikit pemain yang mengalami cedera saat berlatih. Kalau itu terjadi, otomatis ia akan tercoret dari daftar tim.
Aneh jika ada pihak yang tidak mau peduli proses menjadikan pemain bintang, proses untuk membangun kesebelasan yang hebat. Seakan semua bisa dilakukan dengan jalan pintas sehingga lebih suka untuk berpikir mencari pemain asing berdarah setengah Indonesia agar bisa dinaturalisasi.
Lebih ironis lagi ketika kesuksesan sesaat itu dianggap sebagai sebuah keberhasilan. Nafsu untuk mencari pemain blasteran semakin menjadi-jadi. Masyarakat yang sudah haus prestasi pun ikut bertepuk tangan untuk merayakan keberhasilan semu itu.
Mereka tidak peduli kalau seluruh pemain nasional negara mereka merupakan pemain blasteran. Atas nama nasionalisme semu, semua dianggap pantas dan layak. Mereka yang berpikiran waras justru dianggap aneh.
Kita lupa bahwa tugas negara dan pemangku kekuasaan ialah membangun jiwa dan badan putra-putra Indonesia. Termasuk para pengurus PSSI mempunyai tanggung jawab konstitusi untuk menempa putra-putra Indonesia untuk menjadi pemain yang tangguh. Bahwa proses itu panjang, itulah konsekuensi kita ingin menjadi bangsa yang merdeka.
Seperti halnya Yamal dan Williams, mereka bukanlah pemain naturalisasi dari Afrika. Orangtua mereka beremigrasi ke Spanyol dan di tanah air mereka yang baru putra-putra mereka lahir. Yamal dan Williams kemudian dibina sejak usia dini oleh klub-klub sepak bola yang bernaung di bawah Real Federacion Espanola de Futbol atau Federasi Sepak Bola Kerajaan Spanyol.
Tidak bosan kita mengingatkan, pola pembinaan yang benar seperti itulah yang harus kita lakukan. Kita bangun sistem pembinaan sejak usia dini. Kita dorong setiap klub untuk mencari bakat-bakat terpendam yang tersebar di seluruh pelosok penjuru negeri dan mengasah kemampuan mereka dengan teknik dasar sepak bola yang benar.
Negara hadir untuk menyediakan infrastruktur standar sepak bola di banyak tempat agar ada ruang bagi anak-anak untuk bermain, untuk mengekspresikan diri mereka. Ciptakan panggung bagi anak-anak usia dini itu untuk merasakan suasana kompetisi yang sehat agar semakin terpacu untuk meningkatkan diri mereka.
Dari sanalah kemudian PSSI tinggal memilih yang terbaik untuk dibina lagi di akademi sepak bola milik PSSI. Kalau kita mau sabar melakukannya, pasti akan bermunculan bintang-bintang muda yang akan menjadi andalan sepak bola Indonesia pada masa depan.
Kita perlu belajar dari kesungguhan orang seperti Acub Zainal membina sepak bola di Papua. Dari daerah yang tidak mengenal sepak bola bisa muncul bintang-bintang besar seperti Johannes Auri, Hengky Heipon, dan Robby Binur. Inisiatif Acub Zainal membuat Papua kemudian menjadi lumbung pemain nasional Indonesia.
Tidak pernah ada negara yang sukses membangun sepak bola mereka karena mengandalkan naturalisasi pemain. Pengurus sepak bola harus berpikir keras melakukan pembinaan generasi muda mereka agar tercipta critical mass yang mampu menciptakan gelombang besar pemain-pemain hebat. Yang namanya hasil tidak pernah akan mengkhianati proses.