IndonesiaDiscover –
PENELITI Finlandia mengembangkan teknologi yang memungkinkan komputer memahami emosi manusia guna meningkatkan interaksi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Ini memungkinkan mesin menyesuaikan perilakunya guna meningkatkan pengalaman pengguna.
Para peneliti di Universitas Jyväskylä di Finlandia telah menciptakan model yang memungkinkan komputer mengenali dan memahami emosi manusia dengan menggunakan prinsip-prinsip psikologi matematika. Terobosan ini dapat meningkatkan interaksi antara manusia dan teknologi pintar, seperti sistem kecerdasan buatan, dengan menjadikannya lebih selaras dan reaktif terhadap emosi pengguna.
Menurut Jussi Jokinen, Associate Professor of Cognitive Science, model tersebut dapat digunakan oleh komputer di masa depan untuk memprediksi, misalnya, kapan pengguna akan merasa kesal atau cemas. Dalam situasi seperti itu, komputer dapat, misalnya, memberikan instruksi tambahan kepada pengguna atau mengalihkan interaksi.
Baca juga : Studi HCC: Orang Indonesia dengan Emotional Eater 2,5 Kali Berisiko Stres
Dalam interaksi sehari-hari dengan komputer, pengguna biasanya mengalami emosi seperti kegembiraan, kejengkelan, dan kebosanan. Meskipun prevalensi kecerdasan buatan semakin meningkat, teknologi saat ini sering kali gagal mengenali emosi pengguna.
Model yang dikembangkan di Jyväskylä saat ini dapat memprediksi pengguna memiliki perasaan bahagia, bosan, jengkel, marah, putus asa, atau cemas. “Manusia secara alami menafsirkan dan bereaksi terhadap emosi satu sama lain, suatu kemampuan yang pada dasarnya tidak dimiliki mesin,” jelas Jokinen.
“Kesenjangan ini dapat membuat interaksi dengan komputer menjadi frustasi, terutama jika mesin tersebut tetap tidak menyadari keadaan emosional penggunanya.”
Baca juga : Daya Konsentrasi Mengemudi Naik bila Terkena Ion Plasmacluster
Proyek penelitian yang dipimpin oleh Jokinen ini menggunakan psikologi matematika untuk menemukan solusi terhadap masalah ketidakselarasan antara sistem komputer cerdas dan penggunanya. “Model kami dapat diintegrasikan ke dalam sistem AI, memberi mereka kemampuan untuk memahami emosi secara psikologis sehingga lebih baik dalam berhubungan dengan penggunanya,” kata Jokinen.
Dasar penelitian pada teori emosional
Penelitian ini didasarkan pada teori yang mendalilkan bahwa emosi dihasilkan ketika kognisi manusia mengevaluasi peristiwa dari berbagai perspektif.
“Pertimbangkan kesalahan komputer saat melakukan tugas penting. Peristiwa ini dinilai oleh kognisi pengguna sebagai kontraproduktif. Pengguna yang tidak berpengalaman mungkin bereaksi dengan kecemasan dan ketakutan karena ketidakpastian tentang cara mengatasi kesalahan tersebut. Sedangkan pengguna yang berpengalaman mungkin merasa kesal karena harus membuang waktu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Model kami memprediksi respons emosional pengguna dengan mensimulasikan proses evaluasi kognitif ini,” urainya.
Baca juga : Sedang Hit, Industri AI Bisa Menyedot Energi Setara Kebutuhan Negara Kecil
Fase selanjutnya dari proyek ini akan mengeksplorasi penerapan potensial dari pemahaman emosional ini. “Dengan model kami, komputer dapat memprediksi tekanan pengguna terlebih dahulu dan berupaya mengurangi emosi negatif,” saran Jokinen.
“Pendekatan proaktif ini dapat digunakan di berbagai lingkungan, mulai dari lingkungan kantor hingga platform media sosial, meningkatkan pengalaman pengguna dengan mengelola dinamika emosional secara sensitif.”
Implikasi dari teknologi tersebut sangat besar, memberikan gambaran sekilas ke masa depan saat komputer tidak hanya alat, tetapi juga mitra yang berempati dalam interaksi pengguna. (Scitechdaily/Z-2)