Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menilai, kecelakaan bus pariwisata terus terjadi secara berulang. Oleh sebab itu, ia menyoroti soal pentingnya pengawasan terhadap bus pariwisata yang harus diperketat hingga perlunya pemberian sanksi terhadap perusahaan bus yang lalai administrasi.
“Banyak perusahaan tidak tertib administrasi, padahal sekarang sudah dipermudah, pendaftaran dengan sistem online. Pengawasan terhadap bus pariwisata masih perlu diperketat dan harus ada sanksi bagi perusahaan bus yang lalai terhadap tertib administrasi,” kata Djoko dalam keterangan tertulis yang diterima IndonesiaDiscover.com, Senin (13/5).
“Sudah saatnya, pengusaha bus yang tidak mau tertib administrasi diperkarakan. Selama ini, selalu sopir yang dijadikan tumbal setiap kecelakaan bus,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, berdasarkan hasil penelusuran bahwa Bus Trans Putra Fajar AD-7524-OG ini tidak terdaftar dan uji kelayakan atau KIR-nya tercatat mati sejak tanggal 6 Desember 2023. Bahkan, berdasarkan data BLUe, bus yang mengalami kecelakaan ini tercatat milik PT. Jaya Guna Hage.
Selain itu, Djoko menduga bahwa bus ini merupakan armada Angkutan Umum Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) yang berdomisili di Baturetno, Kabupaten Wonogiri. “Sepertinya, sudah dijual dan dijadikan bus pariwisata dan umurnya diperkirakan sudah 18 tahun,” jelasnya.
Selain itu, Djoko juga mengatakan bahwa sangat jarang sekali ada perusahaan bus yang diperkarakan hingga di pengadilan. Alhasil, kejadian serupa dengan penyebab yang sama selalu terulang kembali.
Tak hanya perusahaan saat ini, dalam memperkarakan kejadian kecelakaan, Djoko menyebut pemilik lama juga harus ikut bertanggungjawab. Di sisi lain, menurutnya, data STNK, KIR dan perizinan sudah seharusnya dikolaborasikan dan diintegrasikan menjadi satu kesatuan sebagai alat pengawasan secara administrasi. Terlebih, hampir semua bus pariwisata yang kecelakaan lalu lintas adalah bus bekas AKAP/AKDP.
Sejalan dengan itu, Djoko menilai bahwa pemerintah masih setengah hati untuk membuat aturan batas usia kendaraan bus. “Bus yang lama tidak di scrapping. Akan tetapi dijual kembali sebagai kendaraan umum, karena masih plat kuning, sehingga bisa di kir tapi tidak memiliki ijin. Keadaan ini terus terjadi dan tidak bisa dikendalikan,” pungkasnya.