Hal ini disampaikan Prastowo guna merespons banyaknya kritikan yang dilayangkan kepada Bea Cukai di media sosial dalam beberapa pekan terakhir.
Dalam hal ini, Prastowo mengaku meniru Hakim Saldi Isra yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) bukan keranjang sampah yang terus menerus disalahkan.
“Kalau saya meminjam (ucapan) yang mulia Pak Saldi Isra waktu sidang MK, MK itu bukan keranjang sampah. Saya juga ingin mengatakan Bea Cukai itu bukan keranjang sampah, yang seolah semua hal masalah bisa ditimpakan ke Bea Cukai begitu saja,” kata Prastowo dalam konferensi pers di DHL Express Distribution Center-JDC, Tangerang, Senin (29/4).
Lebih lanjut, Prastowo menyebut beberapa kasus yang ramai di media sosial terkait dengan barang kiriman dari luar negeri sebetulnya tidak hanya ada wewenang Bea Cukai. Melainkan, ada kementerian lain hingga Perusahaan Jasa Titipan (PJT).
Oleh sebab itu, Prastowo menilai bahwa banyaknya kasus viral yang ditujukan kepada Bea Cukai ini terjadi karena ketidaktahuan publik yang perlu diedukasi.
“Kami paham, ini semata-semata karena ketidaktahuan publik yang perlu terus kita edukasi. Maka kita butuh bantuan rekan-rekan untuk terus menerus mari kita bersama-sama mengedukasi publik supaya lebih paham supaya tidak terulang di masa-masa mendatang,” jelasnya.
Berkaitan dengan kritikan barang kiriman dari luar negeri yang diterima dalam kondisi rusak dan disebut oleh netizen dilakukan oleh Bea Cukai. Prastowo juga menjelaskan, bahwa dalam mekanismenya, tidak semua barang kiriman diperiksa secara ketat.
Adapun barang yang diperiksa hanyalah barang yang dicurigai dan itu pun dilakukan oleh PJT, bukan Bea Cukai. “Tadi sudah jelas bahkan atas barang-barang itu yang disampaikan yang formal informal dibedakan. Teman-teman Bea Cukai hanya sangat selektif yang dilihat fisiknya. Sebagian besar itu tidak perlu dilihat fisiknya, kita hanya melihat dokumen dan dasar dokumen itu lah yang kita proses,” jelasnya.
Selain itu, menurut Prastowo, permasalahan kepabeanan juga banyak menyangkut PJT. “Jadi anda punya bayangan, dan selama ini sebenarnya urusan ada di PJT, ada di sini. Sekaligus ini kan meluruskan kita sama-sama meluruskan kepada masyarakat,” imbuh Prastowo.
Adapun terkait dengan denda yang diberikan kepada importir hingga 1.000 persen, itu dilakukan sebagai upaya agar tidak ada importir nakal yang melakukan praktik under invoicing atau praktik yang dilakukan importir dalam memberitahukan harga di bawah nilai transaksi.
Di mana, dengan nilai transaksi yang dideklarasikan lebih rendah maka bea masuk dan pajak impornya pun lebih rendah. Oleh sebab itu, pemberian denda dinilai sebagi bentuk untuk menghargai dan menghormati mereka yang patuh dengan aturan kepabeanan.
“Maka demi apresiasi yang patuh, yang belum patuh itu diberi denda. Supaya nanti bisa ikutan patuh. Nah teman-teman bantu edukasi ke publik ‘oh sudah tahu saya caranya seperti itu prosedurnya’, besok bisa kita ikuti dengan baik. Itu yang perlu dijelaskan,” pungkasnya.