Obituari Abdul Hadi W.M. (24 Juni 1946–19 Januari 2024)
—
Saya baru selesai membaca esai Abdul Hadi Wiji Muthari, ”Di Sekitar Sajak-Sajak Imajis” dalam Budaya Jaya No 93/IX/Februari 1976, ketika beredar kabar bahwa penyair kelahiran Pasongsongan, Madura, itu berpulang di Jakarta (19/1). Innalillahi wainnailaihi rajiuun.
ESAI lawas itu membantu saya mengulas sajak-sajak imajis Frans Nadjira dalam Jendela (1980). Frans, penyair angkatannya, juga berpulang sepekan sebelumnya di Denpasar (12/1). Al Fatihah untuk keduanya.
Saya memang acap merujuk Abdul Hadi yang pikirannya tersebar luas di Ulumul Quran. Juga dalam buku Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (1999), Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas (2004), atau Tasawuf yang Tertindas (2001) –disertasinya di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia (1996).
Tulisannya penting terutama terkait spesifikasi kepakarannya: sastra sufistik/profetik dan sastra Melayu klasik, wabil khusus karya Hamzah Fansuri. Ketika saya ke Peureulak, Aceh, saya tahu dari kajiannya bahwa itulah kota spiritual Fansuri waktu bernama Syahr Nawi. Dalam Temu Penyair Asia Tenggara II 2022, saya merujuknya perihal takhallus sebagai puitika Persia yang potensial diterapkan dalam sastra mutakhir kita.
Baca Juga: Panggung Terakhir
Lewat pertemuan tekstual itulah saya melihat sastra Indonesia jauh ke belakang sembari mendapat ancangan kuat ke depan. Ia, misalnya, mewanti-wanti kita supaya menyelami khazanah sastra Islam yang terlupakan. Ia yakin itu dapat ditransmisikan dalam kesusastraan sekarang.
Ia mencontohkan laron dalam ”Lagu Siul” Chairil Anwar. Sanadnya jelas Kitab Al-Thawasin Mansur Al-Hallaj. Tamsil ”diri mencari cahaya” ini sampai ke Eropa dan dipungut Goethe. Chairil, sebagaimana pengamat kita, tak merasa mengambilnya dari sumber Islam, tapi Eropa, karena ketidaktahuan sumbangan sastra Islam terhadap sastra dunia.
Tapi, sastra Islam tak disekatnya di menara gading. Ia, misalnya, menyejajarkan Amir Hamzah dan Sanusi Pane; satu berorientasi Arab/Persia atau Islam, satu lagi ke Hindu/India. Ia juga sangat apresiatif atas lakon-lakon absurd-eksistensialis Arifin C. Noer tentang perbenturan teologis vs problem eksistensial –sebagaimana jamak dalam sastra Barat.
Inilah upayanya meluaskan akar dan sumber ke dalam sastra Timur maupun Barat. Mulai sastra Arab, Persia, India, Bengali, China, Jepang, termasuk suluk dalam sastra Jawa seperti karya Sunan Bonang. Ia akrabi Iqbal, Al-Hallaj, Rumi, Tagore, Li Po, hingga Hagiwara Sakutaro. Ia dalami surealisme Prancis dan imajisme Inggris. Berdialog dengan karya Eliot, Yeats, Pound, Appollinaire, atau Breton. Belum lagi bicara filsafat, Timur dan Barat, alas bakul pikirannya.
Baca Juga: Dia yang Enggan Menjadi Bocah Tua Nakal
Tapi, memang ia memilih sastra sufi sebagai spesifikasi sekaligus totalitasnya. Bukan saja lewat studi, wacana, dan puisi, ia pionir gerakan sastra profetik. Termasuk mewarnai rubrik ”Dialog” Berita Buana yang ia asuh dengan sajak-sajak sufistik.
Sampai di sini, saya teringat sajaknya, ”Mimpi” (1987): Aneh, tiap mimpi/membuka kelopak mimpi yang lain,/berlapis-lapis mimpi, tiada dinding/dan tirai akhir/. Ini analog dengan sumber dan akar pengetahuannya yang berlapis, tiada dinding. Meski itu tak aneh mengingat intensitasnya bertungkus lumus dengan sastra dan filsafat.