Dalam pameran Seni Rupa Indonesia Kini: Pascamasa, 12 seniman merekam bagaimana pergolakan yang terjadi di Indonesia. Di Riau Komunitas Sikukeluang menyorot kerusakan akibat pertambangan dengan instalasi. Seniman Azizi Al Majid pun merekam kritik satire meme dalam lukisan.
DERU suara alat berat terdengar sayup dari sudut ruang pameran di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta pekan lalu (20/12). Deru itu bercampur dengan suara musik yang begitu khas. Begitu masuk ke ruangan paling sudut, tampaklah instalasi yang tak biasa. Tiga miniatur ekskavator bergerak seakan menambang pasir silika, batu bara, dan mengeduk tanah gambut yang menumbuhkan sawit.
Di tembok pun terpampang daftar kejadian konflik masyarakat akibat pertambangan. Sungguh seakan diajak masuk menyelami suasana konflik akibat pertambangan di Riau. Perwakilan Komunitas Sikukeluang Adhari Donora menuturkan, instalasi itu merupakan bentuk kritik atas pertambangan di Riau yang merusak. ”Merusak segalanya,” kata Adhari.
Riau memiliki tiga pilar utama. Yakni, ulama, adat, dan pemerintah. Namun, kini ketiganya telah diganti menjadi silika, batu bara, dan tanah gambut. ”Begitu banyak kejadian konflik akibat pertambangan. Masyarakat adat selalu menjadi korbannya,” ucap Adhari.
Dengan instalasi tersebut, Komunitas Sikukeluang mengingatkan kepada seluruh masyarakat. Bahwa tanah di Riau sedang berteriak. Sakit dan berdarah-darah akibat terus ’’dilukai’’ oleh pertambangan. ”Pertambangan batu bara merusak lingkungan, pertambangan silika mengancam nelayan karena ikan semakin langka,” jelas Adhari.
KAPAL BESAR: Karya perupa Nesar Eesar berjudul The Ambiguous Journey Series dipajang di Galeri Nasional Indonesia hingga 21 Januari mendatang. (SALMAN TOYIBI/JAWA POS)
Komunitas Sikukeluang sendiri merupakan komunitas yang tumbuh di Riau. Selama ini merekam bagaimana kondisi sosial masyarakat yang begitu terpengaruh dengan beragam pertambangan tersebut. ”Dulu sebelum 2014, kebakaran lahan itu jarang sekali. Sekarang hampir tiap tahun. Yang dituduh masyarakat adat, padahal kebanyakan pelakunya perusahaan,” terang Adhari.
Beda lagi dengan seniman Azizi Al Majid. Dia memamerkan lima karya, empat di antaranya merupakan kesinambungan atas fenomena meme di internet. Empat lukisan itu sengaja ditorehkan dalam kanvas vertikal yang merepresentasikan telepon pintar.
Begitu banyak meme yang terpampang dalam lukisan itu. Di bagian atasnya, tampak semacam gunung es. Lukisan lainnya hampir sama, namun menunjukkan adanya ledakan. Azizi menuturkan, memang karyanya bicara soal meme. ”Meme sebagai media satire dalam beragam tujuan. Politik, iklan, humor, kritik, dan edukasi,” ujar Aziz.
KAPAL BESAR: Karya perupa Nesar Eesar berjudul The Ambiguous Journey Series dipajang di Galeri Nasional Indonesia hingga 21 Januari mendatang. (SALMAN TOYIBI/JAWA POS)
Menurut dia, meme yang ada di Indonesia itu ’’alamnya’’ berada di level kritik. Sebagai kritik terhadap semua keresahan, ketimpangan, kerusakan, dan sebagainya. ”Saya dalam tiga tahun ini memang fokus menyorot meme dalam lukisan,” lanjut Aziz.
Baca Juga: Tiga dan Satu Lagi Tamparan untuk Andi