Sosial Budaya Bajapuik, Tradisi Unik Pernikahan Bumi Pariaman

Bajapuik, Tradisi Unik Pernikahan Bumi Pariaman

1
0

  Dua mempelai dalam perkawinan adat bajapuik, kearifan lokal di Pariaman, Sumatra Barat yang hingga kini dijaga keberadaannya. GNFI

Bajapuik, Tradisi Unik Pernikahan Bumi Pariaman

Pemerintah pusat sejak 2022 menetapkan bajapuik sebagai warisan budaya tak benda (WBTB).

Indonesia memiliki keragaman budaya yang begitu kaya, salah satunya tumbuh di Sumatra Barat (Sumbar). Provinsi berjuluk Ranah Minang ini bertumbuh aneka budaya bertalian dengan kehidupan sosial penduduknya dan selalu menarik untuk diulas. Misalnya, berkaitan dengan budaya pernikahan berlatar adat Minangkabau, suku asli di Sumbar. Terdapat satu daerah yakni Pariaman yang memiliki budaya perkawinan berbeda dari wilayah lainnya di Ranah Minang.

Namanya tradisi bajapuik atau menjemput pengantin laki-laki atau dikenal pula sebagai adat nan diadatkan karena sifatnya bisa berubah kapan saja sesuai kesepakatan masyarakat dan hanya terjadi di satu daerah tertentu, ya di Pariaman. Bajapuik dilandasi oleh falsafah masyarakat Minang dengan sistem matrilinealnya atau mengikuti garis keturunan ibu, bahwa dalam hukum adat disebutkan posisi suami adalah sebagai tamu di rumah istrinya.

Sebagai tamu atau orang datang, maka berlakulah nilai moral yakni datang karano dipanggia, tibo karano dijapuik, artinya datang karena dipanggil, tiba karena dijemput. Menurut sejarawan Minangkabau, Welhendri di dalam bukunya Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik, prosesi pernikahan di Pariaman, selalu laki-laki yang diantar ke rumah istrinya.

Ini sebagai bentuk ketulusan hati menerima, maka dijemput oleh keluarga istri secara adat. Begitu pun sebaliknya, sebagai wujud keikhlasan melepas anak kemenakan, maka laki-laki diantar secara adat oleh kerabat laki-laki. Karenanya laki-laki disebut juga sebagai “orang jemputan”. Bagi masyarakat Pariaman, bajapuik merupakan suatu kewajiban dari keluarga mempelai perempuan (anak daro) kepada pihak pengantin pria (marapulai).

Ini ditandai dengan pemberian sejumlah tanda berupa uang japuik sebelum pernikahan dilangsungkan. Jumlah uang japuik biasanya dibicarakan oleh paman (mamak) pengantin pria dari pihak ibu. Azami dalam Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Barat menyebutnya diskusi mengenai uang japuik dilakukan dalam sebuah acara bernama batimbang tando.   

Sejatinya, di dalam tradisi bajapuik terdapat sejumlah tahapan, di antaranya maantaan asok atau marantak tanggo (mengantarkan asap) maknanya perkenalan keluarga dari kedua pihak calon mempelai. Keluarga calon mempelai perempuan akan mendatangi keluarga calon mempelai pria, dilanjutkan dengan penentuan waktu pernikahan digelar (bakampuang kampuangan). Kemudian, saat hari pernikahan tiba, keluarga pengantin perempuan akan melakukan prosesi manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria) sekaligus membawa uang japuik.

Sepintas, tradisi ini selain unik, juga jarang dilakukan oleh masyarakat di tanah air. Meski demikian, sebagai daerah yang dikenal dengan falsafah terkenalnya yaitu adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah, maka setiap tradisi atau adat harus selaras dengan ajaran agama. Artinya, antara adat dan nilai-nilai agama tidak boleh saling bertentangan. Hal itu juga ditegaskan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Pariaman, Rinalfi seperti dikutip dari Antara.

Ia menyebut, tradisi bajapuik tidak melanggar hukum Islam dan lebih mengacu kepada adat istiadat serta tidak terkait agama. Terlebih lagi, prosesi tradisi bajapuik dilakukan sebelum pernikahan berlangsung, sehingga tidak termasuk kepada syarat pernikahan. “Dalam Islam tidak ada dibahas secara detail tentang uang jemputan karena itu termasuk ke dalam fikih kontemporer atau di luar fikih Islam secara umum,” ujarnya.  

Sekretaris Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kota Pariaman Priyaldi mengatakan, pemerintah daerah mengupayakan melindungi tradisi bajapuik di daerah tersebut karena merupakan suatu kearifan lokal yang masih dipertahankan sampai saat ini. “Perkawinan bajapuik merupakan suatu kearifan lokal di Pariaman yang perlu dijaga dan dilindungi di tengah kemajuan zaman saat ini,” kata Priyaldi.

Karena itu pula, jangan heran jika pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2022 lalu telah menetapkan tradisi bajapuik sebagai warisan budaya tak benda (WBTB).

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari


  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id


Source link

Tinggalkan Balasan