
Jakarta, IndonesiaDiscover – Sivitas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari 70 Pusat Riset (PR) terlibat dalam kegiatan pembacaan surat-surat Raden Ajeng Kartini. Kegiatan yang dikemas dalam tema Cahaya di Langit Jepara itu dilaksanakan Senin (17/4) lalu. Acara yang digagas oleh Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra itu bertujuan dalam meyongsong peringatan Hari Kartini yang diperingati 21 April.
Para sivitas arkelogi, bahasa, dan sastra, yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia, dikenal dengan umat Arbastra, berkumpul secara daring menyemarakkan kegiatan ini. Ada sejumlah 19 pembaca tampil dalam kegiatan ini. Kegiatan ini juga melibatkan visitor researcher yang turut menafsir surat – surat Kartini.
Kepala OR Arbastra, Herry Jogaswara membukanya dengan membacakan Surat Stella Zeehandelaar tanggal 25 Mei 1899, sebuah surat yang sangat menarik terkait dengan tradisi. Dalam surat tersebut tergambar bagaimana tradisi timur yang kokoh dan kuat. Kartini menyinggung emansipasi sejak belum memiliki makna, yang kemudian terbayang dalam kerinduan akan kebebasan dan kemerdekaan.
Herry berharap para peserta mendapatkan inspirasi dari kegiatan tersebut. “Kita dapat menafsir ulang, membaca, dan memaknai. Dalam hal ini, Arbastra mempunyai peneliti yang peduli secara mendalam terhadap aspek bahasa dan sastra, peradaban, serta rumpun ilmu lainnya,” ungkap Herry, seperti dikutip dalam laman BRIN di Jakarta, Kamis (20/4/2023).
Kartini Gagas Perjuangan Kemerdekaan melalui Pesan Bahasa dan Seni
Dikatakan oleh pewara, Darmawati Majid, Kartini dihormati bukan karena kebangsawanannya. Ia berhasil menarik perhatian masyarakat untuk mengusahakan pendidikan formal bagi perempuan Indonesia. Kartini dikenal sebagai tokoh wanita penuh ide dengan daya juangnya di dunia pendidikan dan emansipasi wanita. Kartini banyak mengingatkan dan mencatat akan konteks historis politik, sosial, budaya, dan bidang lainnya. Ia mengungkapkan gagasannya melalui kecintaannya dengan bahasa dan seni.
Sebagaimana dituturkan oleh pewara, yang menceritakan pandangan seorang pengarang buku sastra ternama, Pramudya Ananta Tour. Tokoh yang sering dipanggil dengan nama Pram ini menyebutkan, Kartini sebagai awal mula kebangkitan nasional di Indonesia, bahkan sebelum Syarikat Islam Budi Utomo.
Tampil dalam pembacaan surat-surat Kartini, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko. Ia membacakan surat Kartini yang ditujukan kepada sahabat penanya, Rosa Abendanon tertanggal 28 Februari 1902. Surat yang dibacakannya menyuarakan agar untuk terus bermimpi menggapai sesuatu. Digambarkan, bagaimana orang berpikir, memberi ampun, dan harus punya mimpi. Surat ini menekankan manusia bukan benda mati, ia dapat berpikir dan merasakan, keduanya harus imbang. Pembacaan dilanjutkan oleh Plt. Sekretaris Utama, Nur Tri Aries S. Ia juga membacakan surat untuk Rosa Abendanon tertanggal 7 Oktober 1900 yang menginginkan kebebasan untuk mandiri.
Selanjutnya, Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan, Sastri Sunarti membacakan satu prolog tentang mengapa Kartini itu penting. Dituturkan Sastri, Kartini merupakan perempuan pertama Indonesia yang memiliki akses terhadap kebersamaan. “Ia memang tidak ikut mengangkat senjata di medan perang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan hindia belanda. Ia juga bukan seseorang yang tampil di muka publik melalui pidato – pidatonya. Namun pada masa itu, ia menggunakan retorika yang dikuasai bangsa Eropa melalui tulisan-tulisan hasil pemikirannya,” jelasnya.
Selama tiga tahun, diceritakannya, Kartini menuliskan surat -surat hasil kegelisahannya kepada para sahabat Belanda yang menjadi khalayak sasarannya sebagai orang-orang Eropa yang menjajah Indonesia. Meskipun ia seorang putri bangsawan Jawa, sebagai putri kraton yang selayaknya hidup nyaman, namun Kartini berjuang menjadi pencetus pergerakan indonesia, menyuarakan hak wanita.
Kemudian, pembacaan puisi juga dikemas dengan kompak oleh empat orang kaum pria yang merupakan para Kepala Pusat Riset (Pusris) di lingkungan OR Arbastra. Kekompakan itu ia ramu dalam sebuah gagasan, cinta, empati, dan persahabatan. Para Kepala Pusris ini yaitu Sofyan Noerwidi, Wuri Handoko, Irfan Mahmud, dan Marlon Ririmasse. Pembacaan dilanjutkan oleh dua perempuan sivitas BRIN yang berasal dari Papua dan Aceh, sebagai suara Kartini Indonesia dari pelosok. Para perempuan pembawa peradaban ini membacakan cerita pendek yang dituliskan Kartini. Mereka yaitu Klementin Fairyo dan Fakhriati.
Lantas Manneke Budiman, Guru Besar Ilmu Sastra dan Kajian Budaya Universitas Indonesia yang merupakan visitor researcher BRIN turut menafsir surat -surat Kartini. Ia mengatakan, Kartini adalah sosok pahlawan nasional yang medan perjuangannya yang paling kompleks dengan memilih cara lain, tidak seperti pejuang lainnya yang terjun di medan perang. “ Ia memilih mengekspresikan gagasan, aspirasi, dan impian dalam bentuk surat, di mana teknik yang dominan disebut dengan epistoler,” urai Manneke.
Dengan teknik tersebut, Kartini bercerita dengan sangat pribadi tentang hal-hal yang tidak mungkin diungkap di publik. Tapi pada saat yang sama, teknik ini memungkinkan penulis bicara jujur tanpa rasa ketakutan. Dituturkan Manneke, dalam pandangan politisnya, kaum perempuan belum terbebaskan, belum mempunyai kesetaraan, masih hidup dalam perbedaan. Perjuangannya tidak mudah karena Kartini dituding memiliki perjuangan yang sempit, karena dianggap hanya memikirkan perempuan di kala negara sejang berjuang melawan Belanda.
Disampaikan Manneke, berbagai lapisan dilema dihadapi Kartini. Kartini saat itu dipandang seolah ingin menghancurkan tradisi yang sebagai suatu kemapanan yang seharusnya dilindungi oleh bangsanya sendiri yaitu bangsa ningrat. Sebagaimana diungkapkan dalam dialog antara dia dan ibunya, yang direkam dalam surat Abendanon. Tergambar bahwa Kartini mengungkapkan kepada ibunya, dia tidak berjuang untuk dirinya sendiri, tapi untuk para perempuan Jawa lainnya.
Dalam hal ini, Manneke mengulas, bahwa perempuan adalah penjaga, pengusung, bahkan pelestari penindasan. Penindasan dalam hal ini bukan fisik akan tetapi kebodohan. Perempuan sebagai pengawal peradaban menjadi pintu masuk bagi pembebasan seluruh bangsa dari penderitaan dan penindasan. “Sehingga tidak ada kontradiksi bagi emansipasi perempuan, karena ini suatu perjuangan untuk seluruh bangsa,” anggap Manneke. Menurutnya, teknik epistolar yang dibawakan Kartini banyak membawa solusi. Contohnya, dengan fasih dia harus menggunakan bahasa penjajahnya, untuk mengukuhkan bahwa dia menguasai bahasa penguasanya, alias penjajahnya.
Betapa perjuangan Kartini adalah ingin mewujudkan cita-cita pendidikan yang maju bagi kaum perempuan. Selanjutnya, Eva Tuckyta S. menyampaikan pandangan, Kartini sebagai sosok yang mengajarkan kita bermimpi, bersemangat dalam meraih cita-cita. Sebagaimana ia kutip dalam salah satu surat Kartini untuk Abendanon, “Teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi…”.
Selain itu, Eva mengatakan, Kartini seorang perempuan yang sangat mendambakan kemandirian, terutama kemandirian dalam dunia pendidikan. “Ia mengajarkan kita betapa pentingnya pendidikan, pendidikan bagi para perempaun di tanah air tercinta. Seperti dalam suratnya, saya pandang pendidikan itu sebagai kewajiban yang demikian mulia dan suci,” paparnya.
Selama 144 tahun sejak Kartini lahir, tutur Eva, para perempuan Indonesia sangat banyak merasakan manfaat emansipasi wanita. Dan jejak emansipasi itu bisa diakses dalam surat – surat Kartini yang kini mudah diakses dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa yang memungkinkan bisa dibaca lintas generasi.
Pembacaan surat Kartini dilanjutkan oleh sivitas lainnya, seperti Ade Mulyanah, Katubi, Fakhriati, Suryami, Yeni Mada, Eka Julia, Nofri F, Sonya Martha, Helmina K, Darmawati M, Erwin S, Nensia, Muhammad Isneni, Baso Marannu, Antin Ferdianto, Resti Nurfaidah, Katrynada J, Nurul Adliyah, dan Klementin.
Epilog dari kegiatan disampaikan Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, Ade Mulyanah dengan menyampaikan informasi 106 surat kartini diterbitkan dalam Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Digambarkan, Kartini sebagai figur intelektualitas perempuan ningrat jawa dengan pandangan dan pemikiran tentang kesetaraan wanita yang tetap punya ruang di antara kaum pria. Kartini adalah seorang penulis hebat yang memiliki adik cerita luar biasa. Kisah Kartini agar selalu menjadi inspirasi para perempuan Indonesia. Selamat Hari Kartini!
Sumber Foto: Humas BRIN