

PEMBANGUNAN infrastruktur adalah tulang punggung kemajuan sebuah negara. Infrastruktur yang lebih baik tidak hanya meningkatkan akses terhadap layanan penting seperti pendidikan, kesehatan, dan sanitasi, tetapi juga memperkuat konektivitas, meningkatkan produktivitas, dan daya saing global. Namun, tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah keterbatasan anggaran pemerintah. Untuk menjawab tantangan ini, skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) menjadi solusi strategis, terutama melalui pendekatan inovatif berbasis syariah.
Dalam artikel berjudul “The Implementation of Ijarah Muntahiyah Bittamlik in Infrastructure Project Financing within the Public-Private Partnership Models: A Collaborative Governance Perspective”, Doctor of Leadership and Policy Innovation dari UGM Lasarus Bambang S menjelaskan potensi besar skema ijarah muntahiyah bittamlik (IMBT) dalam pembiayaan proyek infrastruktur.
“IMBT adalah kontrak hybrid yang menggabungkan unsur sewa guna usaha dengan penjualan atau pemberian aset di akhir masa kontrak. Model ini tidak hanya mematuhi prinsip syariah, tetapi juga memberikan solusi pembiayaan yang fleksibel dan berkelanjutan,” jelas Lasarus.
Ia mencontohkan penerapan IMBT pada proyek Jalan Lintas Timur Sumatra dalam skema KPBU Availability Payment (AP), dengan badan usaha yang tergabung dalam Special Purpose Vehicle (SPV) bertanggung jawab mendesain, membangun, membiayai, dan mengoperasikan proyek tersebut hingga masa kontrak selesai. Skema ini terbukti mampu mengoptimalkan kolaborasi pemerintah dan sektor swasta dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur nasional.
MI/HO—Doctor of Leadership and Policy Innovation dari UGM Lasarus Bambang S
Manfaat dan Tantangan KPBU Berbasis Syariah
Dalam pembiayaan berbasis syariah, bank atau lembaga keuangan memberikan pendanaan melalui kontrak IMBT dengan risiko dan manfaat yang dibagi secara adil.
“Pendekatan ini sangat relevan untuk proyek-proyek seperti jalan dan jembatan, rumah sakit, sekolah, bendungan, dan perumahan rakyat. Ini sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, khususnya poin 3 dan 6,” ujar Lasarus.
Namun, penerapan KPBU berbasis syariah juga menghadapi tantangan, seperti kebutuhan regulasi yang lebih matang dan mekanisme pengelolaan risiko yang terstruktur.
Sebagaimana diingatkan oleh O’Toole (2022), risiko permintaan yang dialihkan ke pemerintah dalam skema KPBU AP memerlukan manajemen yang hati-hati agar tidak membebani anggaran negara.
Karenanya, Lasarus memberikan rekomendasi untuk penerapan IMBT, yaitu:
1. Ekspansi ke Sektor Strategis
Pemerintah perlu memperluas penerapan IMBT ke sektor transportasi, kesehatan, dan pendidikan untuk meningkatkan dampaknya.
2. Regulasi yang Mendukung
Dibutuhkan kebijakan yang memberikan kepastian hukum dan insentif bagi lembaga keuangan syariah yang mendanai proyek KPBU.
3. Edukasi dan Sosialisasi
Pemahaman masyarakat dan pelaku usaha tentang mekanisme IMBT harus diperkuat melalui program edukasi.
4. Integrasi Teknologi
Penggunaan teknologi seperti blockchain dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek.
5. Pelatihan SDM
Pelatihan di bidang keuangan syariah dan KPBU harus ditingkatkan untuk mendukung implementasi yang lebih efektif.
6. Evaluasi Berkelanjutan
Pemerintah dan sektor swasta perlu menciptakan mekanisme monitoring bersama untuk memastikan keberhasilan proyek.
Penerapan IMBT dalam skema KPBU membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengatasi tantangan pendanaan infrastruktur. Dengan pendekatan kolaboratif yang memadukan prinsip syariah dan inovasi keuangan, Indonesia dapat membangun infrastruktur yang berkelanjutan dan inklusif.
Sebagaimana disampaikan oleh Lasarus, “Dengan sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan perbankan syariah, kita dapat mewujudkan visi Indonesia Maju, Kuat, Sejahtera, dan Mendunia.” (Z-1)