IndonesiaDiscover –
DALAM beberapa waktu terakhir, sejumlah merek dan perusahaan di Indonesia menghadapi seruan boikot yang didasarkan pada tuduhan bahwa mereka memiliki afiliasi dengan Israel.
Semangat boikot ini, meskipun menunjukkan dukungan terhadap isu-isu kemanusiaan dan solidaritas terhadap Palestina, menimbulkan pertanyaan mengenai keaslian dan motivasi di balik narasi yang berkembang.
Beberapa akademisi menduga bahwa tuduhan ini sering kali dipicu oleh kepentingan persaingan bisnis yang lebih dalam. Ada perusahaan, yang diduga merasa terancam oleh reputasi pesaing mereka dan memilih untuk menggunakan narasi boikot sebagai alat untuk memperlemah posisi pasar lawan.
Dalam konteks ini, tuduhan afiliasi dengan Israel dapat dipandang sebagai strategi untuk merusak citra dan mempengaruhi keputusan konsumen.
Bergulirnya isu ini semakin memanas dengan munculnya kampanye media sosial yang menyerukan boikot terhadap merek-merek tertentu. Banyak pengguna internet ikut serta dalam gerakan ini tanpa mengetahui latar belakang atau kebenaran dari tuduhan tersebut.
Hal ini berpotensi menciptakan stigma yang lebih besar terhadap merek-merek yang dituduh, tanpa adanya bukti yang jelas.
Atas fenomena itu, Wisnu Uriawan, dosen senior Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, meminta masyarakat untuk lebih kritis dalam menyaring informasi terkait daftar produk yang diduga terafiliasi Israel.
Menurutnya, platform digital bersifat terbuka, sehingga semua orang dapat menginput data produknya. “Misalnya, orang lagi nggak nyaman dengan sebuah produk, itu bisa dimasukkan ke platform sehingga nanti seolah-olah produk tersebut terafiliasi Israel, padahal sebenarnya tidak.”
Uriawan menekankan pentingnya validasi informasi. “Kita harus jadi validator di platform tersebut untuk juga ikut mengawasi adanya pihak-pihak yang mempunyai tujuan tertentu dengan sengaja menginput produk agar seolah-olah produk tersebut masuk dalam daftar terafiliasi dengan Israel,” tuturnya.
Dia mengajak masyarakat untuk tidak mempercayai begitu saja daftar produk tersebut dan meminta mahasiswa memiliki tingkat kritis yang baik dalam menyaring informasi di platform digital.
Cendekiawan Muslim Prof Nadirsyah Hosen dari Melbourne University, Australia, juga menyoroti bahwa website-website yang mengklaim membuktikan afiliasi Israel suatu produk seringkali memiliki output yang berbeda.
“Data produk-produk yang terafiliasi Israel itu sudah dimasukkan terlebih dahulu di platformnya. Saat kita memasukkan nama produk, jika itu ada dalam daftar, ya jelas hasilnya menunjukkan bahwa produk itu terafiliasi Israel,” jelasnya.
Dengan meningkatnya euforia boikot, Hosen juga mengingatkan pentingnya skeptisisme. “Kita tidak menolak untuk boikot asal memang itu benar-benar terafiliasi Israel. Tapi, jangan sampai karena kebencian terhadap satu produk, malah merugikan bangsa sendiri.”
Para pengamat memperingatkan bahwa strategi boikot yang tidak berlandaskan fakta dapat berbahaya, tidak hanya bagi merek yang menjadi sasaran tetapi juga bagi konsumen itu sendiri, yang mungkin kehilangan akses terhadap produk berkualitas. Dalam konteks ini, platform BDS Movement dianggap lebih valid dalam menyajikan daftar produk terafiliasi Israel, dengan pendekatan yang lebih strategis dan berbasis data.
Ke depannya, sangat penting bagi konsumen untuk melakukan riset dan memeriksa informasi sebelum terjebak dalam narasi yang bisa jadi didorong oleh kepentingan bisnis tertentu. Memisahkan fakta dari opini dan propaganda tentunya akan menjadi langkah bijak untuk menghindari dampak negatif yang lebih luas.