Politik Perempuan Tangguh yang Jadi Suar di Tengah Bencana, Dewi Hanifah: Nyawa Serasa...

Perempuan Tangguh yang Jadi Suar di Tengah Bencana, Dewi Hanifah: Nyawa Serasa Bertambah saat Harus Menolong Sesama

10
0

HARI Kartini yang kita peringati hari ini (21/4) kembali mengajak kita semua berefleksi. Sudah tercapaikah kesetaraan akses dan peluang bagi perempuan di ruang-ruang publik? Termasuk di daerah-daerah bencana yang menjadi domain para relawan perempuan seperti Wiwit Sri Arianti dan Dewi Hanifah.

DEWI Hanifah menjadi relawan bencana sejak 19 tahun lalu. Pada Juni 2005, sekitar enam bulan setelah tsunami Aceh, dia mendaftar ke yayasan Mercy Corps Indonesia. Ternyata tindakan iseng Dewi itulah yang kemudian menjadi arah hidupnya kini.

”Saya waktu itu baru pulang dari Cile sebagai sekretaris duta besar Indonesia di sana,” ujarnya kepada Indonesia Discover Jumat (19/4).

Bersamaan dengan itu, seorang teman menawarinya untuk menjadi relawan di Aceh, membantu pemulihan masyarakat pascagempa dan tsunami. Tawaran itu pun dia ambil.

Baca Juga: Oki Setiana: Ayah Ajarkan Saya dan Ria Ricis jadi Perempuan Tangguh

Tanpa pengalaman apa pun, Dewi bertolak ke Aceh. Saat pesawatnya mendarat, dia shock. Sejauh mata memandang, yang dia temukan adalah reruntuhan bangunan, tanah-tanah kosong, serta wajah pilu para korban yang kehilangan keluarga dan sanak saudara. Dengan perasaan yang campur aduk, Dewi pun memulai hari-hari beratnya sebagai relawan.

”Apalagi, saat itu Indonesia belum punya pengalaman penanganan bencana besar,” ungkap lulusan Ilmu Sosiologi Universitas Widya Mataram, Jogja, tersebut.

Bersama tim, perempuan kelahiran 3 Oktober itu berfokus pada upaya-upaya pemulihan dan penanganan bencana. Dewi menjadi relawan selama 16 bulan di Aceh. Tugas utamanya adalah menyalurkan bantuan dan membantu warga Aceh agar segera bangkit.

Baca Juga: Menko PMK: Istri dari Awak KRI Nanggala-402 Adalah Perempuan Tangguh

Aceh, rupanya, adalah pintu pertama Dewi untuk menjawab panggilan-panggilan berikutnya dari lokasi bencana. Ada gempa Jogja (2006), banjir Jakarta (2007), gempa Padang (2009), gempa Tasikmalaya (2009), gempa dan tsunami Mentawai (2010), topan Haiyan Filipina (2013), gempa Nepal (2015), serta likuefaksi Sulawesi Tengah (2018).

ANTRE: Distribusi bantuan makanan untuk korban topan Haiyan di Filipina ditertibkan dengan antrean. (DEWI HANIFAH UNTUK JAWA POS)

”Ada begitu banyak hal yang saya dapatkan dari berbagai bencana itu,” papar Dewi. Salah satunya adalah strategi penanganan bencana yang tepat dengan melihat kebutuhan dan karakter masyarakat yang terdampak.

Membuat skala prioritas agar yang paling membutuhkan bantuan bisa lebih dulu ditolong adalah hal yang penting. Namun, itu perlu diselaraskan dengan karakter masyarakat agar distribusi bantuan lebih efektif. Khususnya pada fase emergency response atau masa-masa awal pascabencana.

Baca Juga: Pecahkan Rekor Muri, Kota Madiun Gelar Peragaan Busana Kebaya Kartini Terpanjang Nasional

Tinggalkan Balasan