Sosial Budaya Akulturasi Budaya Tionghoa dan Solo di Grebeg Sudiro

Akulturasi Budaya Tionghoa dan Solo di Grebeg Sudiro

4
0

  Warga mengikuti kirab tradisi Grebeg Sudiro menjelang Imlek di Solo, Jawa Tengah, Minggu (15/1/2023). Tradisi Grebeg yang digelar rutin setiap tahun tersebut merupakan rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek sebagai simbol akulturasi masyarakat sekaligus untuk menarik kunjungan wisatawan di Kota Solo. ANTARA FOTO/Maulana Surya

Akulturasi Budaya Tionghoa dan Solo di Grebeg Sudiro

Pemerintah Kota Surakarta menjadikan pawai budaya Tionghoa dan Jawa sebagai agenda wisata tahunan untuk menjaring ribuan wisdom dan wisman.

Proses pembauran atau akulturasi masyarakat Tionghoa, sejak kedatangan mereka pertama kali pada ratusan tahun lampau, mampu menciptakan bermacam bentuk budaya baru. Tak jarang, budaya baru kreasi akulturasi ini turut menyelipkan budaya asli dari masing-masing etnis, baik itu Tionghoa dan etnis setempat.

Termasuk ditampilkan dalam perayaan Tahun Baru Imlek yang di Indonesia telah dijadikan sebagai hari libur nasional lewat Surat Keputusan Menteri Agama RI nomor 13 tahun 2001. Beleid itu sekaligus menjadi perwujudan dari Keputusan Presiden nomor 6 tahun 2000, di masa kepemimpinan Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid.

Jika di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, kita mengenal tradisi Perang Air atau Cian Ciu, maka di Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah ada atraksi Grebeg Sudiro. Menurut sejarawan Benny Juwono, dalam Etnis Cina di Surakarta 1890-1927, dikatakan bahwa para perantau dari daratan Tiongkok telah masuk ke Surakarta pada 1745.

Eksodus itu bersamaan dengan pemindahan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II dari Kartasura ke Surakarta atau di kemudian hari lebih dikenal sebagai Solo. Orang-orang etnis Tionghoa kemudian memilih tinggal di sekitar daerah Pasar Gede, Pasar Legi, Coyudan, Kampung Balong, dan Sudiroprajan.

Belakangan, kawasan tadi dikenal sebagai pecinan (chinatown) dan sampai hari ini terlihat sisa-sisa kemegahan masa lampau dari kehadiran etnis Tionghoa di Solo. Termasuk, bentuk dan desain bangunan tua yang berciri atap seperti pelana kuda (saddleback-roof).

Untuk mempertahankan tradisi leluhurnya, anak cucu keturunan dari perantau Tiongkok di Kota Solo itu pun menciptakan sebuah seni tradisi baru. Mereka menggabungkan budaya asal tanah leluhur dan seni tradisi lokal sehingga muncul apa yang dikenal sebagai atraksi Grebeg Sudiro.

Grebeg sendiri merupakan tradisi khas masyarakat Jawa untuk menyambut hari-hari khusus, di antaranya Mulud atau Maulud Nabi, Syawal, Iduladha, dan Tahun Baru Islam atau Satu Suro. Juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta.

Pada puncak perayaan Imlek, ada perebutan aneka makanan dan lainnya yang disusun menyerupai gunung atau sering disebut gunungan dan diangkut memakai jodhang atau tandu. Tissania Clarasati Adriana dari Universitas Sebelas Maret dalam sebuah penelitiannya Tradisi Grebeg Sudiro di Sudiroprajan: Akulturasi Kebudayaan Tionghoa dengan Kebudayaan Jawa menuliskan beberapa hal.

Pertama, ada tiga tokoh masyarakat di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, yaitu Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro, dan Kamajaya perintis Grebeg Sudiro pada 2007. Sejatinya, kesenian serupa telah ada sejak berkuasanya Paku Buwono X (1893-1939), yaitu Buk Teko. Dilansir dari website Pemerintah Kota Surakarta, Buk Teko diadakan tiap menjelang Imlek.

Diceritakan oleh Tissania, prosesi arak-arakan gunungan menjadi penanda awal dilakukannya Grebeg Sudiro yang dimulai dan berakhir di Pasar Gede Hardjonagoro. Jika biasanya gunungan dalam sebuah kirab atau arak-arakan saat grebeg berisi hasil bumi, maka pada tradisi Grebeg Sudiro justru berbeda.

Gunungan dalam acara itu berisi aneka kue jajanan tradisional hasil akulturasi, seperti cakwe atau janggelut, bakpia, roti bantal atau gembukan, keleman, dan onde-onde. Untuk 2023 ini, kegiatan Grebeg Sudiro kembali diadakan setelah rehat selama dua tahun karena pandemi, seperti halnya Perang Air di Selatpanjang.

Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka memimpin langsung dimulainya kegiatan bertema Merajut Harmoni dalam kebinekaan itu dari halaman Pasar Gede, pada 15 Januari 2023. Karnaval Budaya mengawali prosesi yang melibatkan hampir 2.000 peserta dari 56 kelompok kesenian di Solo dan sekitarnya. Ikut ditampilkan pula kesenian barongsai, liong, dan reog serta Kelompok Sadar Wisata berpakaian ala bregada atau prajurit keraton.

Aneka gunungan ikut diarak menyusuri rute sejauh 1,5 kilometer melintasi ribuan lampion merah yang digantung untuk menyambut Imlek. Ribuan warga kota antusias mengikuti prosesi kirab dan semakin menyemut menjelang akhir rute. Setelah beberapa menit seluruh peserta memasuki titik penghabisan kirab, ribuan warga mendekati aenka jodhang dan memanjatinya untuk mengambil aneka kue yang menghiasi gunungan.

Panitia juga membagikan sekitar 4.000 kue keranjang, penganan khas etnis Tionghoa yang disajikan ketika merayakan Imlek. Pemkot Surakarta telah memasukkan Grebeg Sudiro ke dalam agenda pariwisata tahunan kota karena menarik minat kunjungan ribuan wisatawan domestik dan asing.

Grebeg Sudiro menjadi cerminan keberagaman dan persatuan di Solo. Ini harus dilestarikan dan bisa menjadi pendidikan bagus soal kebinekaan bagi generasi penerus nantinya,” kata Gibran seperti dikutip dari Antara.

Perhelatan pun dikemas menjadi suatu rangkaian kegiatan besar untuk merayakan Imlek sejak 10 Januari 2023 sampai 30 Januari 2023. Kegiatannya berupa Wisata Perahu Hias, Umbul Mataram, Pesta Seni Budaya, Karnaval Budaya, Pentas Harmoni Sudiro, dan Pesta Kembang Api. 

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari


  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id


Source link

Tinggalkan Balasan