Sosial Budaya Cap Go Meh dan Aksi Ekstrem Tatung Singkawang

Cap Go Meh dan Aksi Ekstrem Tatung Singkawang

23
0

  Aksi salah seorang tatung pada perayaan Cap Go Meh tahun 2019 di Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat. credit: Media Center Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Singkawang.

Cap Go Meh dan Aksi Ekstrem Tatung Singkawang

Masyarakat Kota Seribu Kelenteng mampu menampilkan atraksi kesenian unik dan kesohor di dunia.

Kemeriahan Tahun Baru Imlek 2574 bagi etnis Tionghoa tak lengkap rasanya tanpa merayakan Cap Go Meh. Dalam bahasa Hokkien, Cap Go Meh bermakna sebagai hari ke-15 awal tahun baru dan menjadi penutup rangkaian sukacita masyarakat Tionghoa dalam menyambut Imlek. Sejarah Cap Go Meh diketahui berawal dari sebuah ritual penghormatan kepada Dewa Thai Yi pada masa pemerintahan Dinasti Han pada abad 17.

Momen sakral ini dilaksanakan secara tertutup di kalangan istana dan para raja. Hingga akhirnya ketika masa pemerintahan Dinasti Han berakhir, perayaan Cap Go Meh mulai dikenal masyarakat umum dan dirayakan secara lebih luas oleh berbagai kalangan. Etnis Tionghoa di Indonesia merayakannya lewat beragam kegiatan.

Seperti menggelar festival lampion aneka warna, barongsai, dan menyajikan aneka kuliner hasil akulturasi. Misalnya, mie panjang umur, yaitu hidangan berisi mie yang panjangnya bisa mencapai 2 meter. Kemudian ada lontong sayur Cap Go Meh sebagai ganti yuan xiao, masakan berbahan dasar tepung beras. Seporsi lontong jenis ini isiannya berupa lontong dipotong kecil-kecil, opor ayam, sambal, dan telur rebus.  

Selain itu, bentuk akulturasi lainnya dari perayaan ini dapat kita saksikan di Singkawang, sebuah kota seluas 504 kilometer persegi di Kalimantan Barat. Inilah kota dengan persentase penduduk etnis Tionghoa terbanyak di Indonesia, mencapai 42 persen dari total penduduk. Kota di pesisir Laut Natuna ini berjarak sekitar 145 km sebelah utara Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat.

Kemeriahan Kota Seribu Kelenteng, demikian Singkawang dijuluki, selalu dirasakan apabila Tahun Baru Imlek tiba. Nyaris setiap sudut kota diramaikan oleh belasan ribu lampion aneka warna dan ratusan kelenteng serta vihara ikut berdandan serta berkilau aneka lampu di malam hari.

Saat itu, seisi kota seperti sesak oleh umat manusia karena ada belasan ribu orang melakukan mudik menuju Singkawang. Tak hanya dari seluruh Indonesia, melainkan dari seluruh dunia. Maklum saja, banyak warga Singkawang yang merantau ke berbagai negara atau melakukan pernikahan campur.

Namun, ada peristiwa lain yang selalu ditunggu warga dan para wisatawan domesik dan mancanegara, yaitu parade para tatung diarak berkeliling pusat kota ketika perayaan Cap Go Meh. Kegiatan ini bahkan telah menjadi agenda tetap nasional dan puncaknya jatuhnya pada 5 Februari 2023.

Tatung dalam bahasa Hakka adalah dukun atau seseorang yang dirasuki oleh roh dewa atau orang-orang baik yang sudah meninggal. Ritual pemanggilan roh itu dipimpin oleh seorang pendeta di kelenteng yang terlebih dulu meminta izin Dewa Kemakmuran Toa Pek Kong supaya diberi keselamatan dan keberkahan.

Sebelumnya, para tatung diwajibkan berpuasa selama tiga hari sebelum hari perayaan supaya dalam kondisi suci. Para tatung diyakini memiliki kekuatan supranatural dan bisa berlaku sebagai tabib untuk menyembuhkan penyakit. Ketika dirasuki roh, para tatung diarak untuk mengusir roh-roh jahat di sudut-sudut kota. Supaya kehidupan masyarakat semakin harmonis dan tidak diganggu roh jahat tadi.

Sebagian besar tatung berparade dengan berjalan kaki, meski ada juga yang ditandu layaknya saudagar Tionghoa di masa lampau. Karena dirasuki roh, membuat tubuh tatung-tatung tadi menjadi kebal terhadap berbagai jenis senjata dan logam. Selain beraura mistik, sensasi menegangkan turut hinggap karena tubuh tatung-tatung ini akan diuji kekebalannya lewat rajaman aneka benda tajam. 

Sepintas, menyeramkan dan sedikit mengganggu mata. Namun, atraksi seni dari kota multietnis ini telah menjadi bagian dari festival budaya yang mendunia. Ini juga bagian dari proses asimilasi budaya antara suku Tionghoa, Dayak, dan Melayu yang ditunjukkan lewat penggunaan atribut pakaian adat para tatung ketika berparade.

Begitu pula musik tetabuhan yang dimainkan mewakili ketiga unsur etnis berpopulasi terbanyak di Singkawang. Pada 2023, sebanyak 680 tatung ikut berparade diiringi pertunjukan kesenian dari 17 grup dan paguyuban Tionghoa di Kalimantan. Pemerintah Kota Singkawang menyiapkan sekitar 6.000 lampion digantungkan di atas rute yang dilalui.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari


  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id


Source link

Tinggalkan Balasan