Sosial Budaya Tradisi Perang Pertanda Sayang di Selatpanjang

Tradisi Perang Pertanda Sayang di Selatpanjang

2
0

  Warga keturunan Tionghoa mengikuti Festival Perang Air di Jalan Ahmad Yani, Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Senin (23/1/2023). ANTARA FOTO/ Rahmat Santoso!

Tradisi Perang Pertanda Sayang di Selatpanjang

Perang lempar air yang dilakukan penduduk pesisir sebelah utara Pulau Tebing Tinggi, Riau, selalu ditunggu wisatawan asal Tiongkok, Singapura, Malaysia, dan Hong Kong.

Ada banyak cara bagi masyarakat etnis Tionghoa untuk memperingati Hari Raya Imlek. Salah satunya seperti dilakukan masyarakat Tionghoa di Selatpanjang, ibu kota Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Nama Meranti merupakan gabungan dari nama Pulau Merbau, Ransang, dan Tebing Tinggi. Posisi Selatpanjang seluas 12,5 kilometer persegi ada di utara pesisir Pulau Tebing Tinggi.

Tionghoa menjadi etnis berpopulasi ketiga terbanyak setelah Melayu dan Jawa di sana. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Meranti pada 2021, di kabupaten hasil pemekaran dengan Bengkalis, pada 9 Desember 2008 itu terdapat 44 buah kelenteng, terbanyak di seluruh Riau. Oleh sebab itu, perayaan Imlek di Selatpanjang mendapat tempat khusus di hati masyarakat setempat.

Itu bermula dari gelombang masuknya para perantau dari Provinsi Fujian di tanah Tiongkok ke Selatpanjang pada pertengahan abad 19, untuk mencari kehidupan lebih baik dibandingkan di negara asal, mereka selepas Perang Candu. Menurut sejarawan dari Universitas Negeri Riau Ridwan Melay, keberadaan orang etnis Tionghoa di Selatpanjang ditandai dengan hadirnya Kelenteng Hoo Ann Kiong, rumah ibadah etnis Tionghoa beragama Konghucu dan Buddha.

Dalam bahasa Hokkien, kelenteng ini dikenal juga dengan Tua Pek Kong Bio dan merupakan rumah ibadah etnis Tionghoa tertua di Riau karena telah berdiri sejak 1868. “Keberadaan perantau dari suku Hokkien di Tiongkok ke Selatpanjang disambut tangan terbuka oleh masyarakat Melayu dan Jawa,” kata Ridwan.

Selain mudah bergaul, orang-orang Tiongkok daratan ini juga dikenal sebagai pekerja keras dan turut bekerja sebagai kuli di perkebunan serta nelayan. Ini bertolak belakang dengan kerabat mereka asal suku Hokka yang dikenal sebagai pedagang dan menguasai perniagaan di pantai barat Sumatra dan lebih dekat dengan penguasa dibandingkan kepada rakyat biasa kala itu. 

Atas kesamaan-kesamaan tadi, tidak butuh waktu lama untuk orang-orang Tionghoa dalam proses akulturasi agar dapat diterima di dalam pergaulan secara umum pada masyarakat di Selatpanjang. Itu pula yang membuat pembangunan rumah-rumah ibadah etnis Tionghoa seperti cendawan di musim hujan di seluruh Selatpanjang.

Sebagai bentuk terima kasih etnis Tionghoa terhadap saudara-saudara mereka etnis lain, maka setiap Imlek digelar sebuah tradisi unik yaitu perang air yang melibatkan seluruh penduduk di Selatpanjang. Namanya Cian Ciu atau dalam bahasa Hokkien, ya perang air. Kegiatan ini selalu ditunggu oleh masyarakat dari segala lapisan usia karena dilakukan dengan suka cita.

Menariknya, selain dilakukan sejak sehari menjelang hari pertama Imlek hingga enam hari setelahnya (Cue Lak), kegiatan Cian Cui juga untuk menyambut Cap Go Meh yaitu perayaan 15 hari pertama di awal Tahun Baru Imlek. Tradisi perang air tidak dikenal di kawasan lain di Indonesia yang banyak dihuni oleh etnis Tionghoa, misalnya di Pontianak, Singkawang, Palembang, Pangkal Pinang, Medan, Binjai, Semarang, dan Jakarta sekali pun.

Cian Cui sepintas mirip dengan tradisi Songkran di Thailand untuk menyambut tahun baru etnis Thai yang mayoritas beragama Buddha dan biasa diadakan saat April. Kedua tradisi itu tentu menarik perhatian tak hanya warga setempat, melainkan juga wisatawan asing.

Seperti disebutkan dalam website Pemerintah Provinsi Riau, wisatawan datang dari Singapura, Malaysia, Hong Kong, Tiongkok, Taiwan, dan Australia. Mayoritas adalah para kerabat dari masyarakat Tionghoa Selatpanjang.

Mereka ingin merasakan keseruan perang unik masyarakat Selatpanjang yang dimulai usai kegiatan peribadatan di kelenteng dalam rangka Imlek. Biasanya para tokoh masyarakat setempat akan menyepakati lebih dulu ruas jalan kota yang dapat dipakai untuk merayakan Cian Cui. Setelah itu, baru diumumkan kepada seluruh warga.

Pada jam yang ditentukan, biasanya pukul 16.00 18.00 WIB, masyarakat telah menyemuti tepian ruas jalan. Perlengkapan perang pun turut disiapkan. Jangan pula bayangkan mereka akan membawa senjata seperti layaknya para prajurit pergi ke palagan tempur.

Mereka hanya membawa ember aneka warna penuh air dan tentu saja gayung. Tak sedikit pula yang membawa pistol air mainan bertangki besar yang dapat menyimpan stok sampai 3 liter air. Pasokan air didapat lewat selang-selang yang dialirkan dari rumah-rumah warga di tepi jalan.

Penanda dimulainya acara adalah lewatnya rombongan beberapa becak motor (bentor) roda tiga berisi 2–3 orang sambil membawa tandon atau ember besar berisi air seukuran 100 liter. Ketika rombongan ini lewat di kerumunan warga yang telah menunggu di tepi jalan, maka atraksi pun dimulai, show time! Tak ada raut wajah marah atau kesal dari setiap orang yang ada di atraksi ini.

Sebaliknya, mereka tertawa riang, saling melepas canda sambil menyiramkan air, baik memakai gayung atau disemprotkan dengan wadah pistol air. Tua-muda, laki-perempuan, semua larut dalam kebahagiaan dari tradisi unik di Selatpanjang. Tradisi akan berakhir seiring berkumandangnya azan magrib.

 

Sumber Rezeki

Lalu, mengapa mesti memakai air sebagai wadah berperang? Sebab, menurut kepercayaan etnis Tionghoa, air adalah sumber rezeki dan lewat saling menyiramkannya, maka mereka telah berbagi rezeki kepada semua orang. Bentor merupakan alat transportasi yang paling banyak dimiliki warga karena selain dapat membawa aneka barang, juga dapat mengangkut orang.        

Masyarakat Selatpanjang, baik Tionghoa atau etnis lainnya, meyakini Cian Ciu sebagai suatu tradisi baik demi mempererat tali persaudaraan dan cinta kasih seluruh penduduk. Karena, mereka saling bersuka cita berperang air tanpa memandang status sosial, etnis, agama, dan lainnya, kendati ada banyak versi mengenai kapan tradisi ini dimulai dan siapa pencetusnya.

Pengelola Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) mencatatkan kegiatan Cian Cui pada 7 Februari 2019 menjadi festival budaya dengan peserta terbanyak, mencapai 10.000 orang. Seperti ditulis pihak MURI di dalam website resmi mereka, awalnya Cian Cui dilakukan oleh etnis Melayu dan Tionghoa sebagai ungkapan kekerabatan dan toleransi.

Kemudian berkembang menjadi aktivitas sporadis ke penjuru kawasan karena diminati oleh seluruh warga. Pihak pemkab menilai masih belum dikelola secara baik. “Baru pada 2014 dilembagakan menjadi suatu atraksi budaya menarik yang melibatkan seluruh masyarakat di Selatpanjang,” tulis MURI.

Tradisi yang semula dikenal sebagai Perang Air sebelum diganti menjadi Cian Cui pada 2016 telah menjadi agenda tetap atraksi seni dan budaya otoritas setempat. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti dan Pemprov Riau bahkan memasukkanya dalam kalender pariwisata daerah setiap tahunnya.

Untuk 2023 ini, Cian Cui telah diadakan pada 23 Januari 2023 di sepanjang Jl Ahmad Yani. Pada 2018, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, mendaulat Cian Cui sebagai Festival Pariwisata Terpopuler di Indonesia.

Jadi tak perlu jauh-jauh terbang ke Thailand hanya untuk menikmati keseruan perang air karena bangsa Indonesia pun memilikinya dan selalu ada setiap perayaan Imlek di Selatpanjang. Pembaca tentu tertarik, bukan? Yuk, kita berwisata di Indonesia saja.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari


  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id


Source link

Tinggalkan Balasan