Daerah Polemik Penebangan Pohon di Panderman Gravity Park

Polemik Penebangan Pohon di Panderman Gravity Park

9
0

Oleh: Drs. Mulyono, Mantan Jurnalis Senior Malang Raya

Ada banyak pihak yang tengah menyorot dan meminta sikap kita terkait penebangan pohon di wilayah Kota Batu. Menurut beberapa narasumber, bahwa beberapa pohon yang ditebang tersebut berada di area Tanah Kas Desa (TKD) Pesanggrahan.

Sikap kita dalam merespon kejadian tersebut harus kita awali dengan memahami dulu secara paripurna perihal status tanah dimana pohon-pohon yang ditebang itu berada, atas dasar apa pohon-pohon itu dulu ditanam dan kita juga perlu mendengar alasan kenapa pohon-pohon itu harus ditebang.

Saya kira kita tidak bisa menafikkan tiga substansi tersebut.

Setiap menyikapi permasalahan yang sedang bergulir di masyarakat perlu kiranya kita mendasari setiap argumen dengan legal standing yang jelas dan kokoh, tidak boleh siapapun sembrono dalam membangun opini diera informasi sekarang ini.

Kita pahami dulu tiga hal tersebut.

Untuk menyimpulkan bahwa penebangan pohon-pohon itu sudah dibenarkan secara yuridis formal ataukah malah menabrak hukum positif yang ada, mari kita lihat kriteria hutan di negara kita, dimana ada hutan negara, hutan rakyat atau hutan hak, hutan adat.

Undang-undang no.41 tahun 1999, tentang kehutanan pasal 5 disebutkan, bahwa menurut statusnya hutan terdiri dari hutan Negara dan hutan hak. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Dalam penjelasannya, ditegaskan bahwa hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.

Terkait dengan itu, satu yang menarik lagi adalah dalam pasal yang sama pada ayat (2) disebutkan bahwa hutan negara sebagaimana pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat, pada perkembangannya dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya no. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan, bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada diwilayah adat dan bukan lagi Hutan Negara. Lalu hutan apa ? Hutan hakkah ? Tidak juga, karena Menteri Kehutanan waktu itu, mengeluarkan Surat Edaran (SE) no. No SE 1/Menhut-II/2013 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati atau Wali Kota dan Kepala Dinas Kehutanan seluruh Indonesia yang menegaskan, bahwa penetapan kawasan hutan adat tetap berada pada Menteri Kehutanan. Surat Edaran tersebut mensyaratkan Peraturan Daerah untuk untuk penetapan kasawan hutan adat oleh Menhut (Kementerian Kehutanan RI).

Perkembangan selanjutnya terbit peraturan menteri LHK no.P32/2015, tentang hutan hak, ditegaskan bahwa hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perorangan atau badan hukum. Namun demikian, untuk menjadi hutan hak, hutan adat dan hutan perorangan atau badan hukum harus mengajukan permohonan penetapan kawasan hutan hak kepada Menteri LHK dengan syarat syarat tertentu. Khusus untuk hutan adat untuk menjadi hutan hak, salah satu syaratnya adalah melalui peraturan daerah (perda) yang terikat dalam UU no. 41/1999 pasal 67, tentang masyarakat hukum adat.

Lalu pertanyaannya adalah apa artinya keputusan MK tahun 2012 tersebut kalau hanya mengeluarkan hutan adat dari hutan Negara, toh tanpa keputusan MK pun prosesnya tetap sama. Apa mesti menunggu RUU masyarakat hukum adat menjadi undang undang, toh pada kenyataannya tak kunjung dibahas di DPR
{Quo Vadis Kehutanan Indonesia}.

Jika pohon-pohon yang ditebang itu berada di hutan hak, maka berlaku ketentuan bahwa segala pohon yang tumbuh diluar kawasan hutan seperti hutan hak atau hutan milik atau hutan rakyat, tegalan, kebun, pekarangan, pematang sawah, pinggir jalan yang merupakan milik perorangan atau tanah lain yang dibebani hak perorangan tidak memerlukan izin penebangan.

Yang juga perlu kita tanyakan adalah, apakah di Kota Batu ini sudah ada Peraturan Daerah (Perda) tentang Penebangan Pohon yang berada diluar Tanah Negara ?

Kalau Perda itu sudah hadir, maka bisa digunakan sebagai legal standing dalam penyelesaian permasalahan sebagaimana di Dusun Tuyomerto, Pesanggrahan itu.

Selanjutnya perlu juga dimintai keterangan kepada pihak pengelola TKD Pesanggrahan tersebut, bahwa adakah dokumen atau histori yang masih bisa dibaca, tentang asal mula penanaman pohon-pohon itu dulu dimaksudkan untuk apa. Apabila tertera disana dimaksudkan untuk reboisasi maka haram hukumnya kalau ditebang secara sepihak.

Yang terakhir perlu ditanya juga kepada pihak penanggungjawab penebangan pohon-pohon tersebut, bahwa adakah alasan yang kuat sehingga pohon tersebut harus ditebang, mengingat bahwa pada saat ini konservasi hutan dan lahan menjadi perhatian Pemerintah Republik Indonesia, yang merujuk pada regulasi internasional WWF (World Wide Fun For Nature).

Kesimpulannya adalah bahwa pihak terkait, serta para pihak yang berkompeten di Kota Batu harus segera menengahi dan menyelesaikan persoalan penebangan pohon-pohon (Eucalyptus ataukah Pinus ?) di area Gravity Park, Dusun Toyomerto, Pesanggrahan, Kecamatan Batu, Kota Batu tersebut agar permasalahan yang terus berkembang ini segera dapat diselesaikan secara bijak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Catatan Redaksi: Drs. Mulyono adalah mantan Jurnalis Senior Malang Raya.

Tinggalkan Balasan