
Malam yang Penuh Kegembiraan dan Persaingan
Pada malam yang penuh tawa dan obrolan santai, sebuah permainan sederhana diadakan. Tujuannya adalah mengetahui siapa yang memiliki uang asing dan dari negara mana uang itu berasal. Tidak ada yang memperhatikan nominalnya, yang dicari hanya asal negara yang paling jauh. Permainan ini terdengar seperti hal kecil, tapi suasana ruangan langsung berubah menjadi seperti audisi dadakan “Siapa Mau Jadi Miliarder”.
Saya yang biasanya tidak pernah menang undian apa pun tiba-tiba merasa punya peluang. Di dalam dompet saya, terselip satu riyal Arab Saudi yang sudah lama saya biarkan hidup damai di balik kartu ATM. Saya pun memeriksa dengan khidmat, seperti sedang mengecek tiket lotre sebelum diumumkan: ya, benar, 1 riyal itu masih ada. Dalam hati saya mulai merasa ada harapan. Arab Saudi cukup jauh, pikir saya. Mungkin saja saya bisa keluar sebagai pemenang.
Ketika nama saya dipanggil untuk maju, saya tampil dengan percaya diri. Saya angkat koin riyal itu seperti Simba baru lahir diangkat Rafiki di film Lion King—penuh kebanggaan, penuh harapan, dan sedikit dramatis. Beberapa orang bertepuk tangan. Saya mulai membayangkan kemenangan kecil malam itu. Tidak ada hadiah besar, memang, tapi bisa menang permainan begini selalu terasa menyenangkan.
Tapi hidup, seperti biasa, suka mengatur plot twist tanpa berkonsultasi dulu dengan perasaan kita.
Belum sempat saya duduk kembali, seorang peserta lain melangkah pelan ke depan. Gayanya santai, seperti orang yang tidak berniat menang, hanya berniat menyetor absensi. Dengan wajah tanpa beban, ia mengangkat selembar uang dan berkata, “Saya bawa 1 dolar Amerika.”
Suasana langsung riuh. Beberapa orang bersiul. Saya hanya bisa menahan senyum. Dalam hitungan beberapa detik, seluruh mimpi kemenangan saya terbang seperti burung merpati dilepas di upacara pernikahan—teratur, anggun, tapi menyakitkan.
Saya kalah. Bukan karena jumlah uangnya lebih besar. Bukan karena bentuknya lebih keren. Tapi karena jarak negaranya lebih jauh. Arab Saudi 7.000 km. Amerika Serikat 14.000 km. Selisih yang cukup membuat riyal saya tidak punya masa depan di podium juara.
Saya pun kembali ke kursi sambil tertawa sendiri. Kadang hidup memang sesederhana itu—kita sudah merasa siap jadi pemenang, tapi semesta tiba-tiba berbisik, “Sabar ya, belum rezekimu.”
Meski begitu, saya tetap merasa bangga. Riyal saya mungkin kalah jarak, tapi setidaknya ia punya nilai sentimental yang tidak bisa dikalahkan dolar mana pun. Dan kalau bicara soal pahala, barangkali riyal saya tetap juara.
Malam itu saya tidak pulang sebagai pemenang permainan, tetapi pulang dengan satu cerita yang cukup lucu untuk dibagikan. Dan bukankah itu juga sebuah kemenangan kecil?






















































