

KETIDAKPUASAN tengah melanda industri properti, khususnya di sektor rumah subsidi. Sebanyak 14 ribu pengembang dari lima asosiasi perumahan merasa tidak puas dengan kebijakan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang dinilai lebih banyak menciptakan kegaduhan dibandingkan solusi.
Mereka menilai kebijakan yang diambil belum memberikan dampak positif terhadap pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bahkan justru memperburuk situasi pasar perumahan.
Ketua Umum DPP Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas) Jaya, Andriliwan Muhammad, menyoroti kebijakan yang dianggap gaduh dan kurang mendukung industri properti, terutama di segmen rumah bersubsidi.
“Selama 10 tahun kami mendorong terbentuknya Kementerian Perumahan agar sektor ini berkembang lebih cepat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Jika ditanya, jelas pengembang tidak happy,” ujarnya dalam diskusi media yang digelar Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera), Kamis (27/2).
Pernyataan kontroversial dari kementerian, seperti wacana rumah gratis dan stigmatisasi pengembang sebagai pelaku yang tidak bertanggung jawab, turut menjadi faktor utama ketidakpuasan ini.
Kegaduhan yang terjadi dalam sektor perumahan ini juga berdampak pada minat masyarakat untuk membeli rumah subsidi. Banyak calon pembeli yang menjadi ragu karena adanya isu-isu mengenai rumah gratis serta berbagai kebijakan yang tidak jelas dari pemerintah. Hal ini tentu saja merugikan para pengembang yang telah berinvestasi dalam membangun perumahan bagi MBR.
“Kami melihat minat masyarakat mulai menurun. Mereka tidak yakin apakah rumah subsidi ini masih menjadi pilihan yang aman, mengingat berbagai pernyataan pemerintah yang simpang siur,” ujar Andre.
Jika dibiarkan, hal ini dapat memperlambat pencapaian target perumahan nasional dan semakin memperburuk backlog perumahan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun.
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, menegaskan bahwa pengembang selama ini telah berperan besar dalam menyediakan hunian layak bagi masyarakat. Sayangnya, kebijakan yang dikeluarkan justru tidak berpihak pada pengembang.
“Kami bukan pengusaha hit and run. Sudah puluhan tahun kami membangun rumah bagi MBR. Namun, kementerian malah membuat kebijakan yang tidak ramah dan mempersekusi pengembang kecil,” ujarnya.
Selain kebijakan yang dianggap tidak mendukung, pengembang juga menghadapi tantangan besar berupa ketidakpastian regulasi. Dalam beberapa bulan terakhir, kebijakan yang dikeluarkan kerap berubah-ubah tanpa ada koordinasi yang jelas dengan para pelaku industri. Ini membuat banyak pengembang kesulitan dalam menyusun strategi bisnis yang berkelanjutan.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Junaidi Abdillah, bahkan meragukan target pembangunan 3 juta rumah yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto dapat tercapai jika cara kerja Kementerian PKP masih seperti sekarang. “Banyak hal receh yang diurus, tidak ada visi besar. Jika ingin sukses, pemerintah harus merangkul semua elemen dalam industri perumahan,” tegasnya.
Junaidi juga menyoroti pentingnya stabilitas kebijakan dalam mendukung pertumbuhan sektor properti. Menurutnya, pengembang sudah berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, namun kebijakan yang berubah-ubah membuat mereka sulit bergerak. “Kami ini sudah lama di sektor ini dan tahu apa yang dibutuhkan. Yang diperlukan bukan kegaduhan, tapi solusi konkret,” tambahnya.
Dampak pada Minat MBR dalam Membeli Rumah
Para pengembang berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk memperbaiki situasi ini. Mereka meminta adanya regulasi yang lebih jelas dan berpihak pada semua pihak yang terlibat dalam ekosistem perumahan, termasuk pengembang kecil yang selama ini menjadi tulang punggung dalam penyediaan rumah subsidi.
“Kami ingin pemerintah fokus pada kebijakan yang mendorong pembangunan, bukan yang menimbulkan ketidakpastian. Jika regulasi dibuat dengan jelas dan mendukung ekosistem yang ada, kami yakin target 3 juta rumah bisa tercapai,” tambah Joko Suranto lagi.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang dan Pemasaran Perumahan Nasional (Asprumnas) M. Syawali Priatna juga sependapat dengan asosiasi lainnya. Pengembang asosiasi tersebut juga tidak nyaman dengan kondisi saat ini terutama cara kerja Menteri PKP.
“Kami berharap ada perubahan dari situasi saat ini. Harapan kami, siapa pun menterinya, baik yang sekarang atau siapa pun nanti agar bisa mengeluarkan kebijakan yang mendorong bergeraknya program 3 juta rumah termasuk berjalannya FLPP,” katanya.
Pada akhirnya, pengembang menginginkan adanya kerja sama yang lebih baik dengan pemerintah. Tanpa sinergi yang baik, program perumahan nasional akan sulit berjalan optimal, dan masyarakat yang paling dirugikan karena kesulitan mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau.
Para pengembang pun menegaskan bahwa mereka mendukung program pemerintah, namun kebijakan yang dibuat harus lebih berpihak pada kepentingan jangka panjang. (Z-10)