![1739149992_1737636645_e4a2e103db7d11a537d4.png](https://i0.wp.com/indonesiadiscover.com/wp-content/uploads/2025/02/1739149992_1737636645_e4a2e103db7d11a537d4.png?resize=640%2C398&ssl=1)
![Penegakan Hukum di 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran Dinilai tidak Memuaskan](https://i0.wp.com/indonesiadiscover.com/wp-content/uploads/2025/02/1737636645_e4a2e103db7d11a537d4.png?w=640&ssl=1)
JELANG 100 hari menjabat, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai masih memiliki catatan khusus dalam bidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Hal ini tercermin dari hasil penelitian Lembaga Survei Nasional pada periode Januari 2025.
LSN mencatat dari 15 program yang menjadi objek penelitian, capaian kinerja di bidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi berada di peringkat paling bawah dengan tingkat kepuasan (69,8%).
Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati menjelaskan
agenda antikorupsi telah diadopsi dalam Astacita atau salah satu dari delapan misi yang diusung sejak masa kampanye Prabowo, yaitu akan memperkuat reformasi politik, hukum dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba, akan tetapi hal itu belum menunjukkan kemajuan di 100 hari kerjanya.
“Pemberantasan korupsi saat ini masih berada di titik ekstrim. kita tahu itu masih hal itu hanya dijalankan setengah hati, terlebih lagi ada beban dari pemerintahan Pak Jokowi dua periode yang melemahkan lembaga institusi dari KPK itu sendiri,” ujarnya di Jakarta pada diskusi ‘Evaluasi 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran’ di Jakarta, Kamis (23/1).
Menurut Neni, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penegakan hukum dinilai masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran, terutama gejolak politik 2024 hingga warisan buruk Jokowi sedikit banyak mempengaruhi situasi pemberantasan korupsi hari ini.
“Prabowo harus punya komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi karena kita tahu lembaga OCCRP juga sudah melabelkan Jokowi sebagai pemimpin korup namun tak ditindak, ini juga menjadi tantangan yang serius di periodenya Pak Prabowo karena itu menyisakan catatan kelam terkait dengan pemberantasan korupsi,” katanya.
Lebih jauh, Neni mengingatkan bahwa komposisi kabinet yang termasuk gemuk juga akan berbanding lurus pada besarnya potensi korupsi. Atas dasar itu, Prabowo diminta untuk memperkuat sistem pencegahan, penanganan dan penindakan korupsi.
“Bagaimana agar bisa memberikan efek jera kepada para koruptor, bukan justru memberikan narasi mengampuni koruptor. Pemerintah harus fokus bukan hanya pada proses pencegahan tapi juga bagaimana proses penanganan dan penindakannya,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai agenda anti korupsi banyak dibumbui oleh narasi yang tajam dan menjanjikan dari Prabowo Subianto, eperti akan mengejar koruptor sampai antartika, ikan busuk dari kepala dan pernyataan jangan ada loyalitas jiwa korps yang keliru.
“Tapi dalam jelang 100 hari masa kepemimpinannya, tak tampak adanya sinyal dan gebrakan untuk segera merealisasikan agenda antikorupsi Prabowo-Gibran tersebut, bahkan cenderung berbalik arah dan terkesan toleran terhadap koruptor,”
Menurut Egi, pernyataan Prabowo yang hendak memberikan kesempatan bagi koruptor untuk bertobat dengan syarat menerapkan denda damai, adalah suatu yang jelas keliru sebab tidak ada ketentuan dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai denda damai.
“Sehingga dengan kata lain, pernyataan pemerintah yang hendak memaafkan koruptor adalah upaya untuk memanipulasi hukum yang berpotensi menimbulkan dampak buruk. Hal ini tentu patut dikhawatirkan, sebab, situasi pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan waktu terakhir sangat memprihatinkan,” jelasnya.
Selain itu, Egi mengungkapkan bahwa penegakan hukum pada masa Pemerintahan Prabowo juga masih bergantung pada gejolak politik. Hal itu terlihat pada Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK yang secara kompak mengeluarkan kebijakan penundaan proses hukum kasus korupsi terhadap calon kepala daerah di Pilkada 2024.
“Alasannya, demi menjaga objektivitas proses demokrasi agar penegakan hukum tidak ditunggangi dan dijadikan alat politik menjatuhkan calon (black campaign). Keputusan penundaan penanganan kasus korupsi sangat keliru. Sebaliknya, penegakan hukum seharusnya bisa ditegakkan dengan lebih cepat, demi membantu publik memberikan informasi rekam jejak dalam rangka menentukan pilihan,” jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Egi, hal ini juga menunjukan adanya keraguan aparat penegak hukum dalam menjaga profesionalisme dan independensi dari intervensi politik.
“Padahal, seharusnya yang diperbaiki dan perkuat adalah pengawasan, transparansi, serta akuntabilitas ketimbang melakukan penundaan penanganan kasus korupsi,” kata Egi.
Lebih manjut, Egi menuturkan pada 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran juga masih dihiasi dengan kinerja penegakan hukum yang masih lemah terutama Kejaksaan dan Kepolisian dalam transparansi dan akuntabilitas penanganan perkara korupsi. Hal ini katanya, dapat menjadi celah bagi pihak tertentu untuk menjadikan kasus hukum sebagai tawar-menawar politik hingga suap.
“Sekjen PDI-Perjuangan bisa jadi salah satu contoh. Tentu terdapat kasus lain yang berpotensi jadi alat tawar politik selama aparat penegak hukum tidak bisa menjaga profesionalisme dalam menangani kasus korupsi, khususnya yang berdimensi politik. Apalagi, ke depan kepala daerah terpilih akan segera dilantik, potensi ancaman hukum bagi calon yang berseberangan atau berbeda koalisi juga bisa mencuat,” tandasnya. (J-2)