![1739095692_1737647072_bae5ff335ce76bfc56d2.png](https://i0.wp.com/indonesiadiscover.com/wp-content/uploads/2025/02/1739095692_1737647072_bae5ff335ce76bfc56d2.png?resize=487%2C284&ssl=1)
![Ini Catatan Kritis Mengenai 100 Hari Kinerja Prabowo-Gibran](https://i0.wp.com/indonesiadiscover.com/wp-content/uploads/2025/02/1737647072_bae5ff335ce76bfc56d2.png?w=640&ssl=1)
PAKAR komunikasi politik, Gun Gun Heryanto mengatakan, persepsi publik yang diukur dalam survei tingkat kepuasan publik terhadap 100 hari kinerja Prabowo-Gibran merupakan respons aktif yang dibangun untuk menilai legitimasi publik. Akan tetapi, persepsi yang dibangun tersebut harus sejalan dengan konsep functioning government yang merupakan salah satu indeks penting dalam demokrasi.
“Jangan sampai 100 hari terlalu asik melihat kepuasan publik, namun nilai dasar basis demokrasi seperti functioning government menjadi luput,” katanya pada diskusi ‘Evaluasi 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran’ di Jakarta pada Kamis (23/1).
Gun Gun mengatakan selain dinilai berdasarkan persepsi publik, pemerintahan juga harus kritisi berdasarkan konteks keberfungsian pemerintah yang bisa dilakukan melalui kajian para ahli. Hal itu menurutnya, untuk meminimalisir nuansa populisme yang mulai terbangun.
“Bicara mengenai pemerintahan yang berfungsi atau functioning government itu bicara soal tata kelola pemerintahan. Kalau tidak dibereskan, maka populisme yang dibangun dan membentuk opini positif hanya jadi realita yang seolah-olah puas,” jelasnya.
Lebih lanjut, Gun Gun menekankan bahwa salah satu indikasi bahwa pemerintah sudah berfungsi semestinya adalah terbentuknya RPJMN dan adanya cetak biru komprehensif dan terintegrasi di berbagai sektor kementerian, seperti pendidikan, kesehatan, dan pertahanan.
“Apakah roadmap dan blueprint-nya sudah ada? Apakah kementerian sudah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang solid? Hal ini perlu ditelisik untuk memastikan keberfungsian pemerintah,” kata Gun Gun.
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya institusionalisasi kementerian terutama yang mengalami perubahan, seperti pemisahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga Kementerian bidang Hukum, HAM dan Imigrasi. Gun Gun menilai bahwa proses institusionalisasi ini belum terbaca secara luas oleh publik dan masih perlu diteliti lebih mendalam.
Lebih lanjut, Gun Gun menilai pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah dalam hal tata kelola pemerintahan dalam urusan birokrasi, komunikasi, dan data digital. Selama ini katanya, manajemen komunikasi belum maksimal, terutama ketika pejabat pemerintah membahas isu anggaran di ruang publik yang tidak tepat.
“Saya melihat dari sisi manajemen atau tata kelola belum optimal dari sisi komunikasi masih buruk. Misalnya ada kementerian yang bicara anggaran di media, padahal politik anggaran harusnya berbicara dalam kanal yang tepat,” ujarnya.
Menurut Gun Gun dalam sisi psiko politik, proses transisi pemerintahan Jokowi kepada Prabowo yang berlangsung sangat baik seharusnya menjadi modal sosial besar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam mengakselerasi berbagai kebijakan dan programnya.
“Dalam sejarah, proses transisi kekuasaan Presiden Jokowi dan Prabowo dinilai paling di antara presiden sebelum-sebelumnya. Seharusnya hal ini menguntungkan Prabowo untuk mengakselerasi keberfungsian pemerintah dari sisi tata kelola,” ujarnya.
Selain itu, tingkat kepercayaan publik kata Gun Gun, juga menjadi modal sosial penting akan tetapi, kenerfungsiam pemerintah juga penting diperhatikan di fase awal.
Sementara itu, Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati, menilai bahwa pemerintah perlu fokus pada kebijakan yang substansial, bukan sekadar pencitraan dan bernuansa populis. Salah satu program baru, seperti Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, diapresiasi karena dianggap mampu menanamkan akhlak dan karakter pada siswa.
Kendari demikian, ia juga mencatat adanya keberadaan staf khusus di Kementerian Komunikasi dan Digital yang ditengarai sebagai buzzer politik dapat menggerus kepercayaan publik.
“Beberapa kebijakan populis memang disukai masyarakat, tapi tantangan terbesar adalah memastikan kebijakan non-populis juga memberikan dampak positif. Jangan sampai hanya fokus pada kebijakan pencitraan,” jelasnya.
Menurut Neni, stabilitas politik usai pemilu dan pilkada serentak menjadi faktor pendukung persepsi positif masyarakat terhadap pemerintahan Prabowo. Ia membandingkan kondisi saat ini dengan era Presiden Jokowi, di mana polarisasi politik cukup tajam.
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Politik Kunto Adi Wibowo, menyebutkan bahwa kepuasan publik terhadap Pemerintahan Prabowo-Gibran yang tercatat dalam penelitian Lembaga Survei Nasional sebesar 87,5% menunjukkan bahwa publik masih membutuhkan program yang bersifat layanan dasar.
“Saya berharap program-program merujuk pada layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan yang serba gratis itu bisa menjadi harapan. Lalu kita bisa menilai apakah harapan yang terpupuk itu dapat dipenuhi oleh pemerintahan Prabowo-Gibran?,” pungkasnya. (Dev/I-2)